Selasa, 10 Juni 2008

Birokrasi dan Lembaga Adat

Studi Pertemuan Nilai Modern dan Tradisi
Menuju Good Governance
Oleh: Dr. Zulkarnaen *

1. Pendahuluan
Pembangunan berkaitan dengan aspek kontekstual, karena itu model pembangunan signifikan dikaitkan dengan variabel kompleksitas keunikan lingkungan. Kebijakan, program pembangunan yang mengisolasi keunikan lingkungan adalah tidak mungkin. Contoh penerapan kebijakan uniform rezim orde baru pada pemerintah daerah telah menimbulkan bekas luka yang dalam, terbukti gagal merealisasi Indonesia raya.
Nilai baru yang masuk, dalam kaitan ini membangun pemerintahan modern tidak dapat mengisolasi nilai lingkungan yang sudah ada. Nilai baru yang ‘baik’ sekalipun tidak dapat begitu saja diterapkan pada suatu kondisi, lingkungan tanpa melalui proses kontak dengan nilai setempat. Tanpa kontak melalui komunikasi, sosialisai, alih tekhnologi, pemberdayaan, transparansi, partisipatif, akuntabilitas pada masyarakat setempat dapat menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat atas nilai baru yang dapat berupa program pembangunan, lebih jauh potensial terjadi penolakan.
Dilihat dari perspektif administrasi pembangunan, Kalimantan Barat (Kalbar) sedang mengalami perubahan dari kelembagaan tradisional yang berorientasi status ke pola pemerintahan modern. Keadaan transisi ini memerlukan arah yang jelas untuk mewadahi transformasi dan aktualisasi nilai-nilai kultural bangsa supaya menjadi efektif bagi penyelenggaraan pemerintahan modern. Masa peralihan, acapkali merupakan saat kritis yang memerlukan kejelasan konsep penanganannya. Kalbar memerlukan kekuatan konsep harmonisasi nilai modern dan tradisi, agar segenap stakeholder daerah membangun dapat secara bersama-sama menemukenali masalah kemudian merumuskan pemecahan masalah sehingga dapat dihasilkan pedoman bersama yang diterima segenap elemen daerah membangun yang ada di Kalbar.
2. Kondisi Sosial Budaya Kalbar
Di Kalbar, selain dikenal wilayah negara, terdapat didalamnya wilayah kesatuan adat yang di perdesaan memiliki kekuatan, kekuasaan menjalani adat. Kesatuan kelembagaan adat bagi masyarakat dan para pengurus adat yaitu membina masyarakat adat di dalam lingkungan binuanya. Pengelolaan rumah tangga pada kesatuan wilayah adat ini dilakukan secara otonom untuk menegakkan ketertiban hidup bermasyarakat dalam suatu penyelenggaraan kelompok yang telah dikenal sejak lama oleh mereka.
Sejarah sub-sub suku Dayak terbiasa dengan penyelenggaraan rumah tangga secara otonom. Dalam kondisi demikian, dapat menimbulkan sikap keras, ekstrim dari pemuka adat dan masyarakat untuk bersikukuh pada pola pikir dan pola tindak menurut apa yang mereka yakini dalam mensikapi pembangunan masyarakat. Hal demikian bukan berarti mereka anti perubahan, hal yang penting adalah memahami, memiliki pengetahuan secara benar tentang Dayak dahulu sebelum hendak ‘membangun’ mereka. Sejarah membuktikan penduduk asli di Kalbar tidak alergi pada perubahan, mengindikasikan mereka sebagai masyarakat terbuka.
Tidak ada dalam hidup ini, pada suatu subjek manusia, masyarakat hanya memiliki aspek positif, kelebihan saja dengan tanpa memiliki aspek negatif, kekurangan, kelemahan. Demikian juga nilai budaya masyarakat Kalbar, tidak saja memiliki sisi positif, kondusif pembangunan, juga ada sisi negatif, penghambat pembangunan. Selayaknya tahu atas kekurangan bukan hanya mengungkapkan ‘kelebihan’ tanpa ada parameter yang kuat, mengklaim paling potensial
Acapkali kita lebih banyak mengutarakan segenap kelebihan, yang hanya meninabobokkan. Aspek kekuatan sangat layak untuk dikedepankan, tetapi kelemahan dan ancaman daerah membangun Kalbar selayaknya juga dipaparkan secara jujur. Adanya pemetaan secara jujur dan jernih atas nilai sosial budaya masyarakat dapat sebagai langkah pertama dan mendasar daerah membangun. Kerusuhan antar etnis yang berkali-kali terjadi, penanganan pengungsi yang berlarut-larut, potensi konflik horizontal dalam politik lokal, faktor keamanan dan supremasi hukum masih merupakan halangan utama bagi investor, pihak luar. Nilai kreativitas, kewirausahaan yang kurang melekat pada budaya kita. Realitas sosial budaya ini menunjukkan ada sisi negatif pada nilai sosial budaya kita. Selain tentu saja, ada sisi yang salah pada kebijakan pembangunan dan nilai baru, modern yang masuk.
3. Model Pembangunan Daerah
Mustopadidjaya (1988) berpendapat, pembangunan negara-negara dunia ketiga umumnya diawali dan ditandai dengan ketidakjelasan konsepsional pada tata nilai ataupun model dan strategi pembangunan yang dipilih. Model pembangunan Kalbar tidak dapat meniru begitu saja keberhasilan model pembangunan daerah lain, negara lain karena arah pembangunan berarah dan bermodel banyak. Prinsip perubahan sosial adalah tidak linier; model pembangunan USA ataupun Jepang yang berhasil diterapkan pada lingkungan mereka tidak dapat begitu saja menjadi satu-satunya model pembangunan yang akan menjadi acuan kebijakan pembangunan.
Kebijakan pembangunan era orde baru cenderung menggunakan pendekatan teori modernisasi lama (So, 1994) yaitu mempertentangkan tradisi dan modern. Untuk merealisir model pembangunan yang demikian melalui pengendalian kebijakan uniform, membuat kekuasaan yang begitu besar berada di pemerintah pusat, tingkat atas.
Konsep mempertentangkan nilai baru dengan lama terbukti tidak membawa perubahan masyarakat daerah menuju modern, maju. Dapat dikatakan, mengabaikan nilai, struktur kontekstual pada kebijakan pembangunan menghasilkan pertentangan yang tajam dan mendasar dalam jangka lama. Saat kini yang diperlukan harmonisai nilai baru (pemerintahan modern, good governance) dengan nilai tradisi (nilai sosial budaya masyarakat Kalbar), sejalan konsep teori modernisasi studi baru (So, 1990). Teori modernisasi studi baru secara sadar menghindar untuk menyajikan analisis pada satu variabel. Perhatiannya lebih ditujukan untuk mengamati dan menganalisis secara serentak dan simultan terhadap berbagai pranata yang ada (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) berbagai kemungkinan arah pembangunan, dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.
Perspektif teori modernisasi baru yang tidak mempertentangkan antara nilai tradisi dan modern dalam proses pembangunan merupakan bentuk manajemen pembangunan yang memiliki kerangka kuat mengendalikan birokrasi dan kelembagaan adat bekerjasama secara sinerjik. Ruang harmoni modern dengan tradisi memberi kesempatan segenap elemen masyarakat Kalbar untuk menemukenali masalah secara bersama-sama dengan tidak saling curiga, permusuhan kemudian secara bersama-sama, sinerji memecahkan masalah tersebut –partisipatif mengatasi masalah bersama. Segenap kekuatan lokal, tradisional yang ada di Kalbar seperti adat, kebiasaan, institusi lokal diberdayakan, difasilitasi, didorong untuk berpartisipasi pada daerah membangun, bukannya dengan pendekatan memusuhi institusi lokal. Harmoni pemerintahan modern dengan nilai sosial budaya masyarakat merupakan strategi yang efektif untuk memberdayakan masyarakat Kalbar. Ada gerak sinergis antara nilai modern dan tradisi dalam daerah membangun..
Keberhasilan otonomi daerah tidak saja dipengaruhi oleh berdayanya pemerintahan, tetapi juga masyarakat yang berdaya. Demikian juga penerapan pemerintahan modern, good governance baru dapat diwujudkan dimana masyarakat telah berdaya, di lain sisi, masyarakat dapat berdaya jikalau pemerintah, negara berdaya dan memiliki komitmen memberdayakan masyarakat. Masyarakat akan terdorong pemberdayaannya. Ini juga bermakna mendorong pelaksanaan otonomi daerah yang efektif.
4. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Sesuai Zamannya dan Masalah Disharmoni
Tidak ada model pembangunan yang dapat diterapkan pada berbagai lingkungan sehingga menghasilkan hal yang sama. Saat kini, beban pemerintah daerah semakin berat maka efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sendirinya semakin menjadi kebutuhan. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi memberi ruang yang lebar bagi pemerintah daerah yang kreatif, inovatif dan profesional untuk mencapai tujuan. Melalui desentralisasi membangun struktur pemerintahan yang mampu mendekatkan dengan rakyat. Kebijakan desentralisasi mendorong sasaran smaller, better, faster and cheaper government. Format desentralisasi potensial penyelenggaraan daerah membangun yang partisipatif, transparansi, akuntabilitas sebagai pelaksanaan prinsip good governance.
Tidak ada suatu desain yang ‘ampuh’ untuk segala kondisi. Tugas manajer dalam desain organisasi adalah menetapkan suatu kesesuaian efektif antara struktur organisasi dan variabel tersebut. Demikian juga upaya membangun pemerintahan modern yang dalam penyelenggaraan berdasarkan prinsip-prinsip good governance. pada penerapan tidak ada prinsip-prinsip yang sama untuk semua kondisi. Ini bermakna, prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaannya tidak dapat mengabaikan institusi, nilai, struktur lokal untuk berpartisipasi daerah membangun.
Penerapan pemerintahan modern yang memiliki struktur, perilaku, dan proses modern di suatu masyarakat tradisional ternyata rumit dipahami dan berpartisipasi masyarakat tersebut. Hal yang acapkali ditemui di lapangan penyebabnya adalah faktor rendahnya sosialisasi program pembangunan pada masyarakat. Sosialisasi menjadi tahap yang urgen apalagi pada program yang merupakan bentuk top-down. Selain itu, terhambatnya penerapan pemerintahan modern karena syarat masyarakat yang berdaya tidak mampu dipenuhi. Pemberdayaan masyarakat sampai saat kini belum dijalani secara sistematis, terprogram, riil; pemberdayaan masih dalam tahap wacana publik yang berkepanjangan, kurang disikapi scara operasional menjawabnya..
Selama ini di Kalbar pada penyelenggaraan pemerintahan di masyarakat ada semacam ketidakpercayaan birokrasi pemerintah pada institusi lokal untuk dijadikan sebagai counterpart pembangunan. Di lain pihak, institusi lokal yang memiliki kekuasaan mengakar pada masyarakat tidak sepenuhnya mau dikendalikan oleh birokrasi pemerintah. Kerangka pikir harmoni, saling mau menerima, sinergi, empati belum terbangunkan secara tulus.
Pengkotakan modern dan tradisi di Kalbar begitu terasa pada penanganan program pembangunan. Ada pelaksanaan program pembangunan yang diklaim sebagai kepunyaan masyarakat Dayak atau Melayu dan ada ‘milik’ pemerintahan. Terindikasikan bahwa identifikasi program pembangunan tidak dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Persaingan secara diam-diam di antara modern dan tradisi semakin menguat sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Emosi yang berlebihan sehingga menimbulkan pengkotakan tradisi dan modern adalah kontraproduktif bagi kemajuan Kalbar.
Masalah kita lemah menggunakan kekuatan pola pikir harmoni. Kita lebih mengedepankan konflik daripada harmoni. Padahal tuntutan masa kini dan depan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan reinventing government serta berlandasakan pada teori modernisasi studi baru sebagai revisi teori modernisasi yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru; pemerintahan daerah Kalbar memerlukan kekuatan harmoni modern dan tradisi sebagai suatu bentuk konkrit mensinergiskan pemangku kepentingan dalam upaya daerah membangun.

5. Pemerintahan Modern yang Berpijak Pada Harmoni Modern dan Tradisi
5.1. Menuju Pemerintahan Modern
Era otonomi memberi ruang yang lebar pada daerah untuk menuju pemerintahan modern. Otonomi daerah memerlukan kreativitas dalam mengelola pemerintahan sehingga mampu menuju peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak diukur hanya dari parameter kemampuan daerah menaikkan PAD yang diperoleh, tetapi yang lebih utama adalah kesejahteraan rakyat.
Daerah yang hanya pandai menaikkan restribusi, pajak untuk meningkatkan PAD sementara rakyat terbebani dan investor disulitkan urusannya, merupakan indikasi ketidakmampuan, profesional daerah mengelola pembangunan. Otonomi daerah tidak untuk memberatkan beban rakyat yang sudah berat, tetapi mendorong daerah, rakyat agar meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Di daerah-daerah, termasuk di Kalbar, kemampuan membelanjakan keuangan masih tidak produktif. Sebagian besar untuk keperluan rutin, pembelian kendaraan, membangun gedung yang megah padahal rakyat dalam pelayanannya tidak memerlukan hal itu, seharusnya yang dilakukan adalah pembelanjaan kreatif sehingga mampu memberi multiplier effect.
Di beberapa tempat di perdesaan Kalbar, pelaksanaan persalinan telah terbangun kerja yang harmoni antara dukun dengan tenaga medis kesehatan modern. Dukun bayi diberi pelatihan seperti penggunaan instrumen yang berkaitan pada pertolongan persalinan hendaknya steril. Namun berkaitan dengan cara menolong, tetap mengguna-kan cara pengobatan tradisional. Harmoni nilai baru dengan lama bidang kesehatan dapat menjadi model referensi dalam penanganan bidang pembangunan yang lain. Foster dan Anderson (1986) tidak ada perubahan dalam sistem yang dapat dilakukan dengan mengisolasi sistem yang ada. Pemerintahan modern yang memiliki nilai universal berupa prinsip good governance, tidak akan dapat diterapkan jika mengabaikan sistem yang ada.
Fungsi manajemen pada masa kini dan depan tidak lagi efektif menggunakan fungsi komando, pengarahan, pembinaan, fungsi manajemen yang tepat pada zamannya yaitu kemitraan, fasilitasi, kerja tim, komitmen bersama, sejalan yang dikemukakan oleh Institute on Governance (1996) menjabarkan kerangka administrasi publik yang bercirikan good governance sebagai berikut:
Kerangka kerja tim (teamwork) antar organisasi, departemen dan antar wilayah;
Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat;
Komitmen tanggungjawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan serta sinergis dalam pencapaian tujuan;
Sistem imbalan mendorong keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif;
Adanya pelayanan publik: (a) berorientasi pada masyarakat yang dilayani (client centered); (b) layanan yang merata, tidak deskriminatif (inclusive); (c) pelayanan publik yang mudah dijangkau (accessible) masyarakat; (d) bersifat bersahabat (user friendly); (e) pemerataan yang berkeadilan (equitable) dalam tindak dan layanan; (f) mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya dan tidak menerapkan stantar ganda; (g) berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah (outwardly focused); (h) bersikap profesional; (i) bersikap tidak memihak (non-partisipan).
5.2. Kontak Kebudayaan
Pertentangan modern dan tradisi dapat semakin menguat dan meruncing di era otonomi daerah. Faktor penghambat harmoni nilai modern dan tradisi, tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi dapat berasal dari kedua sisi. Nilai modern, pemerintah tidak percaya pada tradisi, institusi lokal, demikian juga pada nilai tradisi, institusi lokal karena merasa telah lama dizalimi oleh pemerintah pusat, top-down melakukan perlawanan, penolakan masuknya nilai luar. Kedua sisi tersebut sudah selayaknya mau saling mendekatkan diri menggunakan pola pikir harmoni. Ada kesiapan untuk welcome pada budaya lain.
Held (1984) orang tidak boleh tergantung pada kebudayaan tertentu saja untuk bisa bertahan hidup, dan pilihan orang untuk menggabungkan diri kedalam kebudayaan lain haruslah bersifat sukarela. Demikian pula pada lingkup masyarakat, daerah untuk pengembangan memerlukan berhubungan dengan kebudayaan lain.
Pertemuan nilai modern dengan tradisi tidak mungkin dihindari dalam proses modernisasi bangsa. Pertemuan kedua nilai tersebut selayaknya dipandang melalui kekuatan pikir harmoni, sinerji bukannya dipandang dalam suatu ruang konflik. Selama ini yang terjadi antara nilai baru dengan lama diposisikan bertentangan, berhadap-hadapan. Akibatnya terjadi benturan secara keras antara nilai baru dan lama, terjadi pertikaian masyarakat adat dan investor ataupun pemerintah daerah -kasus kerusuhan sosial, pembakaran kamp perusahaan dll. Dikemukakan oleh Smelser (dalam Weiner, 1966) pertentangan terus menerus antara cara modern dan tradisional adalah salah satu sumber kerusuhan sosial.
Semangat otonomi daerah dan globalisasi adalah berbeda. Namun tidak berarti tidak dapat dipertemukan. Ada upaya secara mendasar yang dapat dilakukan untuk mempertemukan otonomi dan global, yaitu kontak kebudayaan. Di era otonomi daerah semakin kita memerlukan kontak kebudayaan sebagai upaya pengayaan, pengetahuan, wawasan membangun kreativitas mengelola daerah membangun. Untuk kemajuan peradaban, kesejahteraan hidup suatu masyarakat, ia harus senantiasa belajar dan mendorong kemajuan budayanya. Demikian juga untuk kemajuan Kalbar, kita perlu mengintensifkan kontak kebudayaan. Di era global, di alam keterbukaan ini semakin mendorong untuk welcome. Memang banyak daerah yang mengklaim budaya mereka welcome, tetapi di sana-sini terjadi pertikaian antara nilai baru dengan masyarakat.
Tidak ada konflik yang melekat antara aspek tradisi dan modern. Ditunjukkan Jepang, bahwa tradisi itu justru lebih menjadi tenaga pendorong perubahan ketimbang menjadi hambatan. Jepang berpedoman pada woken yosei atau semangat Jepang dengan teknik Barat. Konsep demikian dapat sebagai referensi majunya peradaban, ekonomi Jepang karena keterbukaan pada budaya, tekhnologi luar. Kontak kebudayaan dijalani secara efektif. Kontak kebudayaan, welcome pada nilai baru, termasuk pengaturan pemerintahan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
5.3. Pedoman Bersama
Simon & Newell (dalam Surie, 1987:59) secara bijaksana menuntun pola pikir pemecahan masalah, kelakuan memecahkan persoalan seharusnya tidak dijelaskan berdasarkan kerumitan otak manusia, tetapi lebih berdasarkan kerumitan lingkungan di mana orang yang memecahkan masalah itu bekerja. Terkait hal ini Etzioni (dalam Surie, 1987:149-150) menuntun pengambilan keputusan kemasyarakatan, merupakan suatu keterkaitan kuat antara administrasi dengan lingkungan. Strategi yang paling efektif ialah strategi yang paling cocok dengan situasi spesifik dan dengan kemampuan pelaku. Arahan bersama yang disetujui dari berbagai unsur tidak dapat mengabaikan kerumitan lingkungan, agar arahan tersebut dapat dipatuhi bersama.
Melalui kekuatan harmoni –sejalan good governance- menemukenali program daerah membangun secara bersama dan merumuskan secara bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan yaitu unsur modern dan tradisi sehingga dari beragam elemen merumuskan alternatif jawaban yang disepakati bersama, arahan bersama. Hasil pembangunan milik bersama, tidak untuk satu pihak belaka sehingga dapat dihindari pengkotakan yang terlalu tajam.
Masalah pedoman bersama, dua institusi yang mempresentasikan modern dan tradisi di Kalbar adalah birokrasi dan institusi lokal adat, kedua institusi tersebut tidak memiliki yang disepakati sebagai pedoman bersama. Ketaatan, keyakinan institusi lokal pada nilai, norma, hukum adat di satu pihak, dan birokrasi pemerintah di pihak lain yang berfungsi sebagai agen pembangunan, bercirikan organisasi yang menggunakan nilai ‘modern’ dan memiliki kekuasaan yang mengidentifikasi sebagai negara.
Lauer (1989) modernisasi tidak menuntut ditinggalkannya tradisi di setiap langkah menuju masyarakat modern. Sayangnya semangat pembangunan masih tidak ingin ‘bersusah payah’ memadukan modern dan tradisi. Hal yang banyak terlihat, sewaktu membangun proyek modern, kemudian tradisi dikesampingkan. Demikian juga pelaksaan ‘proyek’ tradisional yang menolak segala yang bersifat modern. Indikasi tidak ada kebersamaan modern dan tradisi.
Hubungan modern dan tradisi dalam bentuk pertukaran yang tidak setara (unequal exchange) secara menarik yaitu, suatu waktu lembaga adat merasa tidak diuntungkan (saat kondisi normal di mana program pembangunan ‘berjalan’). Namun di saat terjadi kerusuhan (kondisi tidak normal) birokasi merasa tidak diuntungkan. Menunjukkan ada persaingan, bahkan konflik antara nilai modern dan tradisi. Mengindikasikan, belum ada kemauan kuat dari kedua nilai tersebut untuk membangun pedoman bersama. Masih terasa kehendak mendominasi dari satu nilai pada nilai lain, demikian sebaliknya.
Adanya dorongan kelompok membuat kelompok menilai, beranggapan sebagai yang terbaik (Mannheim, 1985). Dalam kontak kelompok-kelompok yang ada terbangun adalah solidaritas yang sempit. Kita memerlukan dorongan kelompok yang lebih besar membangun solidaritas yang dalam lingkup yang lebih besar kepentingan bersama (daerah/nasional) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah yang berimplikasi menuju Indonesia Raya.
Birokrasi pemerintah secara nasional adalah kuat dan memegang penyaluran dana pembangunan. Kelembagaan adat secara lokal adalah kuat dan diterima oleh rakyat setempat. Pertemuan pada tingkat lokal, membuat birokrasi dan kelembagaan adat merasa kelompoknya yang terbaik dan beranggapan cara yang ditempuhnya dalam mengatasi pembangunan adalah yang paling tepat. Kedua kelompok dengan menggunakan wawasan, pengetahuan dan pendidikan mengklaim sebagai pihak yang paling benar dan mampu untuk membangun masayrakat Kalbar.
Kehendak adanya arahan, pedoman bersama dari segenap elemen masyarakat dalam mensikapi pembangunan, beranjak dari persepsi masyarakat pada pembangunan. Hasil pembangunan memang ada yang telah membawa kemajuan bagi masyarakat Kalbar yaitu tingkat pendidikan yang meningkat, membuka isolasi pedalaman Kalbar. Namun tidak semua pengalaman pembangunan yang diperoleh menyenangkan, seperti janji-janji proyek pembangunan yang katanya memberi keuntungan bagi masyarakat ternyata tak kunjung datang. Banyak terlihat jurang yang lebar dalam kehidupan masyarakat. Banyak proyek pembangunan dipersepsi oleh masyarakat bukan untuk mereka. Ada ketidakpuasan masyarakat atas pelaksanaan hasil pembangunan selama era orde baru dan kini masih berlanjut.
Kalbar yang masih mencari model daerah membangun, kini berada dalam posisi transisi, kita memerlukan pedoman bersama. Pedoman bersama sebagai kebutuhan strategis bagi daerah membangun. Segenap elemen masyarakat dan pemerintah serta swasta menemukenali masalah Kalbar kemudian secara bersama-sama merumuskan penanganan masalah tersebut.
Pertemuan modern dan tradisi yang lalu dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan ada yang diuntungkan. Format demikian perlu dirubah untuk menuju penanganan yang memberi keuntungan bagi berbagai pihak. Joiner (1994) diperlukan pendekatan win-win solution, bekerjasama untuk mengoptimalkan sistem sebagai keseluruhan, bukan berusaha untuk mengoptimalkan bagian-bagian yang terpisahkan. Saat kini, belum terbangun sistem yang membangun ruang bersama yang dinilai adil oleh pihak yang bersaing untuk mengaktualisasi elemennya dalam kebersamaan dengan elemen lain, menuju tujuan bersama.
Menimbulkan rasa ‘kita’ dalam hubungan yang setara antar institusi, nilai modern dan tradisi. Kesalahan komunikasi tidak dapat ditimpakan hanya pada satu pihak saja dari pemerintah atau masyarakat. Saling mau dan mampu menerima keberadaan pihak lain. Singkat kata, komunikasi pembangunan menggunakan pendekatan kebudayaan. Sehingga memberi kenyamanan, keterimaan secara ikhlas, mendalam dari berbagai pihak yang berbeda.
Mengharmonikan berbagai kepentingan didorong daerah membangun secara partisipatif; diperlukan kesungguhan melibatkan segenap elemen masyarakat yang beragam berpartisipasi secara utuh. Masalahnya selama ini ada kecenderungan masyarakat diajak, didorong untuk berpartispasi hanya pada saat pelaksanaan dan pemeliharaan, tetapi kurang sungguh-sungguh melibatkan pada perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Bagaimana mungkin masyarakat akan berpartisipasi secara optimal, dan benar kalau mereka dilibatkan secara parsial. Logika partisipasi parsial membuat tidak terbangunkan pedoman bersama. Partisipasi diperlukan baik pada masyarakat, dari pemerintahan tradisional sampai modern, tanpa partisipasi dari masyarakat maka program pembangunan sulit berhasil.
Mengharmonikan modern dan tradisi pada pelaksanaan pembangunan (pedoman bersama) menggunakan prinsip-prinsip good governance: partisipatif, melibatkan secara tulus dan sungguh-sungguh segenap elemen lokal, baik yang berbentuk modern maupun yang tradisional; akuntabilitas, harmoni modern dan tradisional dapat ditunjukkan melalui akuntabilita pembangunan, tidak saja pada institusi modern, tetapi juga penting pada rakyatnya yang tradisional. Selama ini dalam penyelenggaraan pemerintahan para pemimpin menganggap pertanggungjawaban mereka lebih penting pada pemimpin, atasanya daripada rakyat yang dipimpinnya; saling menghormati, hal yang sangat diperlukan dalam kontak antar dua pihak yang berbeda untuk saling mau mendengar, memahami, empati; keterbukaan, proses kerja antara institusi modern dan tradisional di Kalbar acapkali menyulitkan untuk terbuka bagi pihak lain. Pada kegiatan tertentu dari institusi adat tertutup bagi institusi pemerintah. Demikian juga pada pertemuan pemerintahan, ada kategori tertutup bagi intitusi lokal. Padahal satu prinsip penting untuk mempertemukan modern dan tradisional adalah keterbukaan.
Persaingan yang muncul dari interaksi kultur yang berlainan sering malah bisa menimbulkan perubahan kreatif. Dikemukakan oleh Fukuyama (1999), kultur yang berbeda-beda bisa menjadi sumber keunggulan. Diperlukan kekuatan gerak saling mendekat, sebagai suatu bentuk kompromi memerlukan dari masing-masing institusi dengan nilai yang melekat padanya mau dan mampu melakukan otokritik, menunjukkan sikap kooperatif. Terbangun saling pengertian, ada kemauan untuk memandang suatu masalah dalam cara pandang yang sama. Adanya panduan bersama merupakan hal yang kondusif agar pemangku kepentingan dapat sinergis.
Di akhir kata, kebijakan daerah membangun Kalbar menuju pemerintahan modern harus melupakan kebijakan mempertentangkan (konflik) modern dan tradisi. Kalbar memerlukan harmonisasi modern dan tradisi sebagai kebutuhan riil bersama untuk menemukenali masalah bersama dan ada pedoman bersama serta segenap elemen modern dan tradisi berpartisipasi di bidangnya mensukseskan daerah membangun.
____________
* Tenaga Pengajar Fisip dan Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak, makalah ini dipresentasikan dalam kegiatan Seminar Internasional, se Borneo di Banjarmasin, 16 Juni 2007

Tidak ada komentar: