Selasa, 10 Juni 2008

Revitalisasi Birokrasi Tingkatkan Pelayanan Prima Melalui Sumber Daya Aparatur yang Berkualitas

Oleh: Dr. Zulkarnaen *

Pendahuluan
Sejalan dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kemajuan ilmu dan teknologi, pelaksanaan otonomi daerah dan arus globalisasi yang kesemua hal tersebut mendorong tuntutan publik atas peningkatan standar pelayanan. Tuntutan publik yang dinamis perlu dijawab oleh aparatur yang berkualitas, profesional, berdaya. Kinerja Aparatur Tidak dapat dilepaskan dari Struktur birokrasi yang mempengaruhi proses dan perilaku birokrasi dalam pemberian pelayanan publik.
Dalam keseharian secara garis beras dapat kita katakan, bahwa kinerja pelayanan publik masih bercirikan tidak memiliki kepastian waktu, biaya, dan persyaratan yang ditempuh. Masalah pelayanan publik yang kurang mampu memuaskan atas tuntutan publik merupakan hal yang operasional dan keseharian.

Konsep dan Praktik Birokrasi
Robbins (1995:338), karakteristik-karakteristik essensi birokrasi Weber, yaitu:
1. Pembagian Kerja
2. Hirakhi Kewenangan yang Jelas
3. Formalitas yang Tinggi
4. Bersifat Tidak Pribadi (impersonal)
5. Seleksi dan Promosi didasarkan atas Kualifikasi Teknis, Kemampuan dan Prestasi
6. Jejak Karier bagi Para Pegawai
7. Kehidupan Organisasi Dipisahkan dengan Jelas dari Kehidupan Pribadi

Landasan Konsep birokrasi Max Weber adalah Rasionalitas; pengertian Weber ttg birokrasi menunjukkan essensi organisasi yang ideal; model birokrasi Weber lebih merupakan gambaran yang hipotesis ketimbang yang sebenarnya tentang kebanyakan organisasi; birokrasi yang ideal, perwujudan tertinggi rasionalitas (Warwick et al., 1980)
Praktik birokrasi, Schmoller (dalam Albrow, 1989:43) cenderung ke arah penyimpangan patologis dari jalan normal administrasi yang sehat. Robbins (1995:343-347) mengidentifikasi penyelewengan fungsi birokrasi: (1) Penyimpangan tujuan; (2) Penerapan peraturan yang tidak tepat; (3) Keterasingan pegawai; (4) Konsentrasi Kekuasaan, dan (5) Frustasi dari yang bukan anggota. Hicks (1987:234-245) memaparkan penyelewengan fungsi birokrasi, karena: (1) Rigiditas; (2) Impersonalitas; (3) Pengalihan Tujuan; (4) Pembatasan kategorisasi; (5) Mempertahankan dan Pembentukan kemutlakan sendiri; (6) Nilai Pengendalian; (7) Kekhawatiran.

Asset sumber kekuasaan birokrasi
Alasan pertama mengapa birokrasi kuat secara politik, karena birokrasi secara institusional memiliki sumber-sumber kekuasaan yang sangat besar dibanding dengan institusi lainnya dalam sistem politik seperti parpol, ormas, organisasi profesi, LSM, kalangan pengusaha dll.
Guy Peters (1978) setidaknya birokrasi memiliki empat sumber kekuasaan penting, yakni penguasaan informasi dan keahlian, kewenangan yang terkait dengan pengambilan kebijakan, adanya dukungan politik (legitimasi) dan sifatnya yang permanen dan stabil. Mochtar Mas’oed (1987), birokrasi memiliki empat sumber kekuasaan, yakni: peranannya sebagai personifikasi negara, penguasaan informasi, kepemilikan keahlian teknis, dan status sosial yang tinggi.
Legitimasi sebagai personifikasi negara, melalui sumber ini, birokrasi mendapatkan mandat undang-undang untuk mengatur kehidupan negara sehingga dapat bertindak atas nama negara. Ada legitimasi, ada kewenangan. Dapat menjadi masalah, negara suatu wujud yang abstrak sehingga gampang dimanipulir oleh birokrasi, apalagi tanpa kontrol. Birokasi dapat bertindak apa saja berlindung kalimat ’atas nama negara’.
Penguasaan informasi, birokrasi bertugas mengurus penyelenggaraan negara dan pelayanan, maka institusi ini memiliki jaringan informasi yang banyak. Mereka sudah menjalankan lama sekali fungsinya dan tercatat, sehingga dapat dipahami seorang menteri departemen bisa didekte oleh birokrat departemen. Birokrat dapat sewaktu-waktu menggunakan dan menyimpan informasi yang mereka miliki untuk menekan dan mendukung, krena penguasaan informasi.
Keahlian teknis, aparatur, birorkrat memiliki keahlian teknis yang tak dimiliki pihak lain.
Status sosial yang tinggi (diakui/tidak) dari birokrat merupakan asset kekuasaan. Realitas sosial kini memang banyk profesi lain yang punya status sosial yang tinggi.
Lembaga yang permanen, posisi birokrat dan birokrasi dari sudut kestabilan, paling tinggi. Perusahaan bisa cepat bubar demkian juga LSM, Ormas, organisasi ini tingkat solidaritas dan stabilitasnya sangat cair.
Birokrasi pemerintah, walau tidak sehat sulit untuk bubar kecuali kehendak perundang-undangan.
Masters (dalam Gaspersz, 1997:265), hambatan-hambatan pengembangan sistem manajemen kualitas, termasuk manajemen pelayanan publik sebagai berikut:
1. Tidak ada komitmen dari manajemen
2. Ketidak pengetahuan atau kekurangpahaman tentang manajemen kualitas.
3. Ketidak mampuan mengubah kultur organisasi.
4. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.
5. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
6. Ketidakmampuan membangun suatu learning organization yang memberikan perbaikan terus menerus.
7. Ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen dan individu yang terisolasi.
8. Ketidakcukupan sumber daya.
9. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan.
10. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi.
11. Ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan tidak adanya akses ke data dan hasil-hasil.
12. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil yang cepat.
13. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelnggan internal dan eksternal.
14. Ketidakcocokan kondidi untuk implementasi manajemen kualitas.
Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan (empowerment) dan kerja sama (teamwork)

Mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan birokrasi
Netralisasi birokrasi
Penguasa dan politisi boleh berganti-ganti, tetapi birokrasi harus tetap pada posisinya, dan steril dari pengaruh keberpihakan.
Prinsip netralitas: terbebas dari pemihakan kelompok tertentu terhindar dari diskriminatif dan terbebas dari campur tangan parpol dalam proses rekruitmen.
Pengaturan dan pembatasan sumber kekuasaan
(kesetaraan eksekutif dan legislatif) pihak eksekutif merumuskan berupa regulasi atas batasan-batasan penggunaan kewenangan birokrasi.
Aset kekuasaan untuk bertindak atas nama negara harus didefinis secara jelas, terukur sehingga birokrat seperti badan kepolisian, kejasaan, militer tidak betindak sewenang-wenang.
Memperkuat partisipasi masyarakat
Pemberdayaan; hak dan kewajiban masyarakat diketahui dan diterapkan; partispasi yang utuh dilaksanakan secara konsisten.
Menjadikan birokrasi sebagai institusi terbuka
Membangun responsibilitas birokrasi
Diketahui pelanggan atas tugas, hak dan kewajiban sehingga meraka dapat menuntut birokrat.

Kinerja Pelayanan Publik
Perhatian atas kinerja pelayanan publik semakin hari semakin diperlukan, sejalan dengan tuntutan publik yang menghendaki pelayanan prima, berkualitas dan dalam proses pelayanan yang nyaman, ramah, cepat dan murah serta adil. Pelayanan publik merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan dalam berhubungan pada masyarakat, publik. Ini berarti kesuksesan pelayanan publik adalah kesuksesan pemerintah.
Suatu hal yang kita ketahui bersama, merupakan hal yang mendasar dalam pelayanan publik yaitu diperlukan adanya standar pelayanan minimal. Namun fakta di daerah ini hampir semua instansi belum memiliki rumusan standar pelayanan minimal. Jikapun sudah memiliki, masalah yang muncul implementasinya bermasalah.
Publik dalam pelayanan menuntut seperti kejelasan dan kepastian atas pembayaran dan persyaratan, kepastian waktu selesai, dan tepat serta ramah. Banyak proses penyelesaian surat entah itu disengaja atau tidak, jarang suatu kantor memaparkan secara terbuka tanggal, pukul berapa surat permohonan/formulir masuk dan selesai diambil, sehingga dengan tercatat waktu pendaftaran maka akan terhitung waktu proses penyelesaian pelayanan publik.
Salah satu kelemahan kualitas pelayanan aparatur adalah ketidaktahuan secara terukur dan operasional atas pelayanan yang berkualitas. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep. 25/M.Pan/2/2004 mengembangkan 14 unsur yang dianggap relevan, valid, realible sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengkuran indeks kepuasan masyarakat, sbb.:
  1. Prosedur pelayanan; yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
  2. Persyaratan pelayanan; persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannnya.
  3. Kejelasan petugas pelayanan; keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggngjawabnya).
  4. Kedisiplinan petugas pelayanan, kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutam terhadp konsisitensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
  5. Tanggungjawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
  6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan dan menyelesaikan pelayanan kepada msyarakat.
  7. Kecepatan pelayanan, target waktu pelayanan dapt diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
  8. Keadilan mendapatkan pelayanan; pelaksanaan pelayann dengan tidak membedakn golongan/status masyarakat yang dilayani;
  9. Kesopanan dan keramahan petugas; yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakt secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
  10. Kewajaran biaya pelayanan; keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
  11. Kepastian biaya pelayanan; kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
  12. Kepastian jadual pelayann; pelaksanaan waktu pelayann, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
  13. Kenyamann lingkungan; kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikn rasa nyama kepada penerima pelayanan.
  14. Keamanan pelayanan; yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyaraka merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

Strategi Peningkatan Kinerja Aparatur dalam Menjawab Tuntutan atas Pelayanan Publik
Aparatur yang berkualitas, profesional, kompetensi, tentu saja tidak muncul begitu saja, ini merupakan output dari rangkaian yang utuh yaitu mulai rekruitmen dan pembinaan PNS. Ini berarti, upaya peningkatan kemampuan dan kualitas aparatur sudah dimulai sejak penerimaan pegawai. Penjaringan pegawai baru dimaksudkan untuk mendapatkan pegawai-pegawai dengan kualitas tinggi, sebagaimana dilakukan negara-negara Korea, Taiwan, Cina, Jepang dan Malaysia untuk meningkatkan kinerja. Pengembangan kualitas kepegawaian dan orientasi pelayanan publik prima akan bermasalah kalau rekrutmen bermasalah.
Kesulitan pembinaan aparatur berawal dari mental calon PNS 60 % ingin menjadi pegawai negeri karena motivasi jaminan hari tua. Bukan karena motivasi memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Bisa kita bayangkan begitu tingginya tingkat kesulitan bagi institusi yang diserah tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kualitas calon PNS yang demikian dan mengubah nilai minta dilayani menjadi orientasi melayani.
Pengembangan dan pemberdayaan aparatur negara dalam peningkatan kinerja hendaknya merupakan learning process, yakni dengan dukungan sebuah sistem pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran tetap harus berjalan dan dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah itu sendiri, dengan kesungguhan, konsisten dan terencana menuju aparatur yang berkualitas, kompetensi, profesional dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Strategi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya aparatur tidak dapat dilakukan seketika. Perubahan ini dimakna secara bertahap dan terencana yang berkesinambungan.
Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten (1981) merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient), dan pada akhirnya belajar berkembang (learning to be expand).
Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good governance merupakan learning process yang seharusnya didukung oleh sistem pembelajaran yang sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekruitmen; (2) penggajian dan reward; (3) pengukuran kinerja; (4) promosi jabatan; (5) pengawasan. Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas sub-sub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada peningkatan kompetensi (kinerja) aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan.
Penyusunan strategi dalam pelayanan publik harus dikelola secara operasional, terapan. Strategi yang dirumuskan harus punya kemamputerapan secara optimal. Untuk mencapai hal tersebut data lapangan perlu diketahui. Dalam konteks ini, turun ke lapangan diperlukan oleh aparatur. Perlu diketahui data lapangan untuk memahami strategi. Contoh berkenaan atas Tujuan: keindahan; kesehatan dan keamanan; meninimalkan ketidaknyaman masyarakat; kepuasan penduduk secara umum. Kita tentu perlu mengetahui secara benar atas hasil dari tujuan, berupa: jalan, gang dan lingkungan yang bersih; bau yang mengganggu; suara-suara yang tidak menyenangkan; bahaya kebakaran; sampah yang tidak diambil; sampah yang tercecer saat pengambilan; keluhan penduduk; kepuasan yang dirasakan.
Kepahaman atas kualitas pelayanan merupakan bentuk pelayanan yang terukur, ada standar pelayanan minimal, ada acuan, tolok ukur dalam pemberian pelayanan. Dipahami, kualitas merupakan sesuatu yang dinamis Acapkali dalam kehendak membangun pelayanan publik yang berkualitas dihadapi oleh masalah ketidakpahaman aparatur atas acuan dan tolok ukur pelayanan yang berkualitas.
Pemberian pelayanan memerlukan indikator yang kemudian diberi penilaian, contoh: pelayanan kebersihan umum pada tempat pembuangan sementara (TPS), ditetapkan indikator pelayanan prima: (1) Kebersihan TPS; (2) Tingkat bau yang tidak nyaman; (3) Kelayakan lokasi TPS; (4) Fasilitas TPS; (5) Waktu pembuangan dan pengambilan sampah; dan (6) Mental masyarakat.
Indikator-indikator tersebut merupakan bentuk operasional dari manajemen kinerja dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Hal ini memudahkan aparatur untuk pemberian pelayanan sekaligus evaluasi pada setiap indikator tersebut.
Pemberdayaan, peningkatan kompetensi aparatur dalam konteks tuntutan pelayanan publik ini adalah kepahaman atas pengetahuan secara terukur atas pelayanan. Sudah seharusnya aparatur melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam pelayanan publik atas indikator pelayanan berkualitas.

__________
* Dosen Fisip dan Program Magister Ilmu Sosial Untan, Tulisan ini dipresentasikan pada kegiatan Diklatpim Tk. III Angkatan XX di Provinsi Kalbar, Pontianak, 10 Agustus 2007.

Tidak ada komentar: