Minggu, 17 Februari 2013
Selasa, 10 Juni 2008
Akuntabilitas Pemerintah Daerah
Terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) merupakan kehendak kita bersama. Jantung good governance, yaitu kewajiban untuk bertanggungjawab atas berbagai kegatan penyelenggaraan kebijakan pemerintahan dan pembangunan (World Bank:1994).
Pentingnya akuntabilitas dapat dilihat di banyak negara. Akuntabilitas diyakini mampu merubah kondisi suatu pemerintahan, dari kondisi pemerintahan yang tidak dapat memberikan pelayanan publik secara baik dan korup menuju suatu tatanan pemerintah yang demokratis. Penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel signifikan mendapat dukungan dari publik. Ada kepercayaan masyarakat atas apa yang diselenggarakan, direncanakan dan dilaksanakan program berorientasi pada publik. Di pihak penyelenggara, akuntabilitas mencerminkankan komitmen pemerintah melayani publik.
Pengertian, konsep Akuntabilitas dalam Good Governance
Akuntabilitas, memang bukan kata yang asing, bahkan di era kini menjadi istilah yang popular diwacanakan. Namun, bukan mustahil apa makna akuntabilitas, belum diketahui secara baik oleh segenap pemangku kepentingan (stake holders).
United Nation (2002), mendefiniskan akuntabilitas sebagai sebuah norma dalam hubungan antara pengambil keputusan dan stakeholders dan para pengambil keputusan bertanggungjawb terhadap konsekuensi yang timbul dari keputusan mereka. Pollit secara sederhana mengatakan akuntabilitas adalah sebuah hubungan dimana sebuah pihak tertentu diharuskan untuk melaporkan tindakan-tindakan terhadap pihak lain (Pollit, Birchall & Putman, 1988).
J.B. Ghartey (dalam LAN & BPKP, 2000) menyatakan akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, siapa yang bertanggungjawb terhadap berbagai kegiatan dalam masyarakat, apakah pertanggungjawaban seiring dengan kewenangan yang memadai dan lain sebagainya.
Nisjar (1997) mengartikan akuntabilitas sebagai kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang diterapkannya. Sedangkan Finner (dalam Joko Widodo, 2001) menjelaskan akuntabilitas merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh administrasi negara. Oleh karena itu akuntabilitas sering disamakan tanggungjawab yang bersifat objektif.
Akuntabilitas publik merupakan alat bagi demokrasi partisipatif rakyat untuk mempertanggunggugatkan peran pemerintah dan mitranya dalam fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menerangkan kinerja atas tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Terselenggaranya pemerintahan yang akuntabel memotivasi sekaligus menjadi komitmen pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap apa yang direncanakan dan dilakukan kemudian siap untuk digugat atas tugas pokok dan fungsi (tupoksi) aparatur pemerintah.
Akuntabilitas Pemerintah Daerah
Lembaga Administrasi Negara, membedakan akuntabilitas dalam tiga macam akuntabilitas, yaitu:
1. Akuntabilitas keuangan, merupakan pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan.
2. Akuntabilitas manfaat, pada dasarnya memberi perhatian pada hasil kegiatan pemerintah.
3. Akuntabilitas prosedural, merupakan pertanggungjawaban mengenai apakah prosedur penetaan dan pelaksanaan suatu kebijakan telah mempertimpangkan masalah moral, etika, kepastian hukum dan ketaatan pada keputusan politis untuk mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.
Konsepsi akuntabilitas (Koppell, 2005) mengandung lima dimensi utama, yaitu mencakup:
transparansi (sudahkah organisasi terbuka dengan fakta-fakta kinerjanya);
akuntabilitas tidak akan terwujud dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah jika tidak memiliki prasyarat transparasi.
Perencanaan yang baik adalah yang dapat diterapkan dan diiringi secara kuat partisipasi masyarakat, pemangku kepentingan. Untuk mendapatkan partisipasi dan menumbuh kepercayaan publik, bahwa program berorientasi bagi masyarakat, faktor transparansi menjadi kata kunci.
Transparansi adalah instrumen paling penting untuk mengukur kinerja organisasi dan menjadi faktor kunci untuk mengetahui dimensi akuntabilitas. Adanya keterbukaan membuat semua langkah dan kebijakan dapat ditelaah dan dipertanyakan sehingga kesalahan dapat diadakan penyelidikan dan harus dapat diterangkan kepada publik.
liabiliti (sudahkah organisasi memperhatikan konsekuensi dari kinerjanya); pemerintah daerah seharusnya cerdas dan tajam mengkaji segala yang menjadi konsekuensi dan dampak kebijakan
pengontrolan (sudahkah organisasi melaksanakan prinsip-prinsip yang dianjurkan);
apakah prinsip perencanaan bottom-up dipatuhi secara konsisiten
tangungjawab (sudahkan, organisasi mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan);
jika terjadi masalah, apa tanggungjawab pemerintah daerah; kuat berkenaan dengan moralitas tanggungjawab melayani Publik.
responsif (sudahkan organisasi memenuhi tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat);
bagaimana daya tanggap pemerintah ini juga mencerminkan tingkat akuntabilitas pemerintah daerah
Akuntabilitas memiliki spektrum yang luas dan kompleks. Keterkaitan beberapa aspek sangat erat, dan lemah salah satu diantaranya dapat menyebabkan hambatan dan bisa jadi kemandulan sistem akuntabilitas ini untuk berjalan secara keseluruhan. Sehingga segala dana dan daya sudah diinvestasikan untuk usaha ini dikhawatirkan memberi hasil kecil atau bahkan malah berdampak negatif.
Beberapa hal yang yang menjadi tuntutan mencapai keberhasilan akuntabilitas, yaitu: diperlukan pemimpin yang responsif dan akuntabel akan transparan kepada masyarakat maupun bawahannya. Selain itu, standar evaluasi kinerja harus diungkapkan secara nyata dan jelas sehingga dapat diketahui secara jelas apa yang harus diakuntabilitaskan. Hal lain adalah adanya standart kinerja diungkapkan nyata, jelas dan diketahui jelas apa yang harus diakuntabilitas.
Akuntabilitas dan transparansi merupakan bagian yang esensi untuk menciptakan pemerintah dan administrasi publik yang kuat, serta dapat mewujudkan perilaku yang etik dalam meningkatkan profesionalisme dengan kekuatan kompetensi dan efisiensi. Akuntabilitas publik yang merupakan faktor utama untuk mewujudkan good governance memerlukan adanya transparansi informasi untuk menjalankan fungsi akuntabilitas tersebut. Akuntabilitas dan transparansi adalah norma utama untuk mewujudkan good governance.
Azhar Kasim (2000:19-27) akuntabilitas dan transparansi merupakan prasayarat bagi terciptanya birokrasi dan pemerintah yang responsif terhadap kehendak rakyat. Penegasan akan pentingnya akuntabilitas dan transparansi guna memastikan pemanfaatan sumber daya yang terbatas untuk berbagai pelayanan publik yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan cara yang efisien, efektif, dan terukur kinerjanya. Pemerintah daerah yang akuntabel dari nilai, moral, internal akan berpikir dan bertindak orientasi bagi masyarakat.
Akuntabilitas Perencanaan Pembangunan Daerah
Di era otonomi daerah, desentralisasi sekarang ini yang paling tahu tentang daerahnya adalah masyarakat itu sendiri. Dalam pemaknaan ini perencanaan pembangunan yang bottom-up menjadi tuntutan dan model perencanaan pembangunan yang dipilih. Pemerintah daerah membuka ruang yang lebar bagi seluruh komponen civil society dalam masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada birokrasi publik. Pertanyaan sekarang, apakah akuntabilita perencanaan telah diimplementasikan secara konsisten dan terencana ?
Perencanaan merupakan tahap awal yang mendasar dalam fungsi administrasi pembangunan dan menjadi arah tujuan yang akan dicapai Perencanaan sebagai arah dan menjadi penentu dalam tahap-tahap proses pembangunan tidak dapat dihindari pentingnya tahap perencanaan yang akuntabilitas.
Akuntabilitas politik, demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu menjadi penting perencanaan bottom up sebagai bentuk nyata menjaring aspirasi masyarakat. Betapapun, akuntabilitas birokrasi publik tidak mungkin hanya dapat diperoleh dengan sikap menunggu. Akuntabilitas adalah hak masyarakat dan merupakan sesuatu yang harus dituntut oleh masyarakat sendiri dan diberikan ruang yang lebar dari pemerintah daerah dalam keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah.
Akuntabilitas keuangan, pengelolaan keuangan rakyat dimana dalam pengukuran kinerja tidak hanya pada tujuan, tetapi juga outcome.
Pengalokasian dana perlu yang cerdas untuk mampu mendapatkan efek tetesan bagi pembangunan dalm upaya menuju kesejahteraan rakyat. Hal yang akuntabel perencanaan pembangunan daerah jika belanja cerdas dan bertujuan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Akuntabilitas hukum, mengandung arti bahwa rakyat harus memiliki keyakinan bahwa unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya. Perencanaan yang akuntabel jikalau memperhatikan sisi hukum.
Hal yang penting lain dalam kaitan kepahaman atas sistem perencanaan pembangunan nasional adalah suatu yang akuntabel dalam perencanaan dimana perencana pembangunan daerah berpikir dan bertindak secara sinergis dalam hubungan pembangunan nasional, propinsi, kabupaten/kota serta kecamatan, desa agar terbangun perencanaan dan pembangunan yang terpadu.
__________
Pelayanan Publik dan Kinerja Aparatur
Oleh: Dr. Zulkarnaen
Sejalan dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kemajuan ilmu dan teknologi, pelaksanaan otonomi daerah dan arus globalisasi yang kesemua hal tersebut mendorong tuntutan publik atas peningkatan standar pelayanan. Tuntutan publik yang dinamis perlu dijawab oleh aparatur yang berkualitas, profesional, berdaya. Padahal senyatanya, banyak ditemui aparatur tidak atau kurang berdaya dalam menjawab tuntutan pelayanan publik yang meningkat tajam.
Dalam keseharian secara garis beras dapat kita katakan, bahwa kinerja pelayanan publik masih bercirikan tidak memiliki kepastian waktu, biaya, dan persyaratan yang ditempuh. Masalah pelayanan publik yang demikian merupakan hal yang operasional, dapat dikatakan, masalah nyata praktik pelayanan yang dikeluhkan oleh publik. Oleh karena itu birokrasi pemerintahan perlu menjawab secara serius dalam suatu kerja yang operasional, sistematis, konsisten, koordinatif, dan berkualitas serta terukur untuk menghasilkan aparatur yang berkualitas, profesional dan berdaya dalam menjawab masalah nyata dalam pelayanan publik.
Pelayanan Publik
Perhatian atas kinerja pelayanan publik semakin hari semakin diperlukan, sejalan dengan tuntutan publik yang menghendaki pelayanan cepat, tepat dan dalam proses pelayanan yang nyaman, ramah, cepat dan murah serta adil. Pelayanan publik merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan dalam berhubungan pada masyarakat, publik. Ini berarti kesuksesan pelayanan publik adalah kesuksesan pemerintah.
Suatu hal yang kita ketahui bersama, merupakan hal yang mendasar dalam pelayanan publik yaitu diperlukan adanya standar pelayanan minimal. Namun fakta di daerah ini hampir semua instansi belum memiliki rumusan standar pelayanan minimal. Jikapun sudah memiliki, masalah yang muncul implementasinya bermasalah.
Publik dalam pelayanan menuntut seperti kejelasan dan kepastian atas pembayaran dan persyaratan, kepastian waktu selesai, dan tepat serta ramah. Banyak proses penyelesaian surat entah itu disengaja atau tidak, jarang suatu kantor memaparkan secara terbuka tanggal, pukul berapa surat permohonan/formulir masuk dan selesai diambil, sehingga dengan tercatat waktu pendaftaran maka akan terhitung waktu proses penyelesaian pelayanan publik.
Salah satu kelemahan kualitas pelayanan aparatur adalah ketidaktahuan secara terukur dan operasional atas pelayanan yang berkualitas. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep. 25/M.Pan/2/2004 mengembangkan 14 unsur yang dianggap relevan, valid, realible sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengkuran indeks kepuasan masyarakat, sbb.:
- Prosedur pelayanan; yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
- Persyaratan pelayanan; persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannnya.
- Kejelasan petugas pelayanan; keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggngjawabnya).
- Kedisiplinan petugas pelayanan, kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutam terhadp konsisitensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
- Tanggungjawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
- Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan dan menyelesaikan pelayanan kepada msyarakat.
- Kecepatan pelayanan, target waktu pelayanan dapt diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
- Keadilan mendapatkan pelayanan; pelaksanaan pelayann dengan tidak membedakn golongan/status masyarakat yang dilayani;
- Kesopanan dan keramahan petugas; yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakt secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
- Kewajaran biaya pelayanan; keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
- Kepastian biaya pelayanan; kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
- Kepastian jadual pelayann; pelaksanaan waktu pelayann, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
- Kenyamann lingkungan; kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikn rasa nyama kepada penerima pelayanan.
- Keamanan pelayanan; yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyaraka merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Kinerja Aparatur dan Praktik Pendidikan dan Latihan
Aparatur yang berkualitas, profesional, kompetensi, tentu saja tidak muncul begitu saja, ini merupakan output dari rangkaian yang utuh yaitu mulai rekruitmen dan pembinaan PNS. Ini berarti, upaya peningkatan kemampuan dan kualitas aparatur sudah dimulai sejak penerimaan pegawai. Penjaringan pegawai baru dimaksudkan untuk mendapatkan pegawai-pegawai dengan kualitas tinggi, sebagaimana dilakukan negara-negara Korea, Taiwan, Cina, Jepang dan Malaysia untuk meningkatkan kinerja. Pengembangan kualitas kepegawaian dan orientasi pelayanan publik prima akan bermasalah kalau rekrutmen bermasalah.
Kesulitan pembinaan aparatur berawal dari mental calon PNS 60 % ingin menjadi pegawai negeri karena motivasi jaminan hari tua. Bukan karena motivasi memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Bisa kita bayangkan begitu tingginya tingkat kesulitan bagi institusi yang diserah tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kualitas calon PNS yang demikian dan mengubah nilai minta dilayani menjadi orientasi melayani.
Dalam rangkaian perjalanan seorang aparatur, masa paling panjang adalah sebagai seorang aparatur pemerintahan (aktif) yang dalam aktivitasnya senantiasa diminta untuk mampu menjawab tuntutan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, globalisasi. Agar aparatur dapat selalu mampu mengikuti perkembangan zaman sebagai suatu upaya terus menerus meningkatkan kualitas, salah satu pilar adalah pendidikan dan latihan. Tuntutan yang semakin tinggi pada aparatur seharusnya disikapi dengan kebijakan yang semakin memberdayakan, memfungsikan diklat secara powerfull.
Manajemen kepegawaian sipil dalam good governance menghendaki suatu kondisi yang dinamis, penuh dengan pemikiran dan aksi-aksi yang progresif. Dengan demikian, aparatur pemerintah senantiasa akan tertantang untuk mengejar kemajuan dan peningkatan kualitas. Kualitas sumber daya aparatur yang sesuai dengan riil tuntutan kualitas pelayanan publik. Secara nyata merupakan investasi masa depan organisasi pemerintah.
Banyak contoh negara maju dalam perjalanan sejarah kebijakan memberikan perhatian yang serius pada bidang pendidikan. Seperti Jepang dan contoh negara tetangga kita yaitu Malaysia. Termasuk pada peningkatan aparatur PNS perlu terus menerus melalui diklat. Pendidikan dan latihan harus mendapat perhatian yang lebih agar institusi ini berdaya, bermutu untuk berkesinambungan membangun, mencetak aparatur yang profesional, berkualitas, kompeten serta memiliki integritas dan moralitas. Disain kurikulum pendidikan dan latihan dalam kaitan menjawab tuntutan pelayanan publik yang operasional, terukur.
Dalam aspek pelatihan, kurikulum ataupun pengajaran/pelatihan yang dilakukan yaitu mengisi keahlian atau keterampilan yang diperlukan untuk menduduki suatu jabatan. Untuk itu perlu adanya konsistensi antara pelatihan (training) yang ditempuh dengan jabatan yang akan diduduki aparatur. Sebagai konsekuensi atas konsistensi atas apa yang diajarkan, dilatih dengan kompetensi atas jabatan yang akan diduduki maka perlu selalu dilakukan aktualisasi jenis kurikulum training yang sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat, dan perkembangan teknologi.
Pendidikan dan latihan yang dilakukan ditempatkan sebagai alasan yang rasional untuk merencanakan karier birokrat, aparatur. Oleh karena itu output dari pendidikan dan latihan yang telah diikuti mendapat perhatian secara konsisten pada jejak karier, mutasi dan promosi; mengikuti jenjang diklat sebagai prasyarat yang harus dipenuhi sebelum menduduki suatu jabatan. Kebijakan yang tidak konsisten mendayagunakan keluaran, alumni diklat membawa banyak kerugian yaitu: pengeluaran negara yang besar telah diinvestasikan dalam proses diklat, tidak terukur outcome/dampak dari keikutsertaan pada diklat, mengacaukan sistem pembinaan karier PNS, iklim kerja yang kurang kompetitif secara positif, menimbulkan rasa ketidakadilan dan kepastian atas jejak karier yang pada akhirnya mengganggu kinerja aparatur, PNS.
Strategi Peningkatan Kinerja Aparatur dalam Menjawab Tuntutan atas Pelayanan Publik
Pengembangan dan pemberdayaan aparatur negara hendaknya merupakan learning process, yakni dengan dukungan sebuah sistem pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran tetap harus berjalan dan dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah itu sendiri, dengan kesungguhan, konsisten dan terencana menuju aparatur yang berkualitas, kompetensi, profesional dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Strategi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya aparatur tidak dapat dilakukan seketika. Perubahan ini dimakna secara bertahap dan terencana yang berkesinambungan.
Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten (1981) merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient), dan pada akhirnya belajar berkembang (learning to be expand).
Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good governance merupakan learning process yang seharusnya didukung oleh sistem pembelajaran yang sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekruitmen; (2) penggajian dan reward; (3) pengukuran kinerja; (4) promosi jabatan; (5) pengawasan. Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas sub-sub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada peningkatan kompetensi (kinerja) aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan.
Penyusunan strategi dalam pelayanan publik harus dikelola secara operasional, terapan. Strategi yang dirumuskan harus punya kemamputerapan secara optimal. Untuk mencapai hal tersebut data lapangan perlu diketahui. Dalam konteks ini, turun ke lapangan diperlukan oleh aparatur. Perlu diketahui data lapangan untuk memahami strategi. Tujuan: keindahan; kesehatan dan keamanan; meninimalkan ketidaknyaman masyarakat; kepuasan penduduk secara umum. Kita tentu perlu mengetahui secara benar atas hasil dari tujuan, berupa: jalan, gang dan lingkungan yang bersih; bau yang mengganggu; suara-suara yang tidak menyenangkan; bahaya kebakaran; sampah yang tidak diambil; sampah yang tercecer saat pengambilan; keluhan penduduk; kepuasan yang dirasakan.
Kepahaman atas kualitas pelayanan merupakan bentuk pelayanan yang terukur, ada standar pelayanan minimal, ada acuan, tolok ukur dalam pemberian pelayanan. Acapkali dalam kehendak membangun pelayanan publik yang berkualitas dihadapi oleh masalah ketidakpahaman aparatur atas acuan dan tolok ukur pelayanan yang berkualitas.
Pemberian pelayanan memerlukan indikator yang kemudian diberi penilaian, contoh: pelayanan kebersihan umum pada tempat pembuangan sementara (TPS)
Kebersihan TPS
Tingkat bau yang tidak nyaman
Kelayakan lokasi TPS
Fasilitas TPS
Waktu pembuangan dan pengambilan sampah
Mental masyarakat
Indikator-indikator tersebut merupakan bentuk operasional dari manajemen kinerja. Hal ini memudahkan untuk pemberian pelayanan sekaligus evaluasi pada setiap indikator tersebut.
Pemberdayaan, peningkatan kompetensi aparatur dalam konteks tuntutan pelayanan publik ini adalah kepahaman atas pengetahuan secara terukur atas pelayanan. Sudah seharusnya aparatur melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam pelayanan publik atas indikator pelayanan berkualitas.
Melalui manajemen kinerja kita mampu mengidentifikasi program yang efektif dan efisien; membantu skala prioritas pelayanan berdasarkan kebutuhan dan umpan balik masyarakat; indikator kinerja dapat digunakan untuk evaluasi keberhasilan program dan pelaksanaannya; membangun hubungan baik dengan masyarakat melalui peningkatan pelayanan berdasar masukan dari masyarakat. Manajemen kinerja membawa makna adanya pengukuran atas program yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah membuat kita dapat mengidentifikasi program yang efektif dan efisien. Manajemen kinerja memberi banyak manfaat, seperti identifikasi atas program-program efisien, efektif, direspon positif, dapat digunakan untuk evaluasi; menumbuhkan kepuasan dan partisipasi masyarakat.
Keuntungan manajemen kinerja bagi Pemerintah daerah adalah meningkatkan kualitas layanan dan hasil secara terukur. Selain itu, perbaikan alokasi sumberdaya dan pertimbangan rasional untuk pendanaan; membuat instansi pelayanan umum menjadi lebih akuntabel dan meningkatkan kepercayaan masyarakat serta pekerjaan semakin memuaskan karena ada umpan balik dari masyarakat.
Praktik penempatan pegawai negari sipil selama ini tidak didasarkan pada kesesuaian kompetensi, keahlian melainkan lebih kuat didasarkn pada ketentuan normatif administratif, seperti terpenuhinya golongan, ruang dan kepangkatan. Pola pengembangan aparatur yang belum diorientasikan pada sistem karier secara jelas.
Banyak instansi yang tidak memiliki rancangan pengembangan karier pegawai yang terprogram. Pegawai pada gilirannya menjumpai kesulitan dan ketidakjelasan ketika harus memikirkan dan menyusun pengembangan karier secara individual. Kondisi demikian mengakibatkan tidak jelasnya arah diklat-diklat yang diselenggarakan. Di samping itu, jajaran birokrasi tidak mampu mengidentifikasi kebutuhan jenis diklat yang memang diperlukan guna pengembangan karier pegawainya. Praktik manajemen kepegawaian kita belum terbiasa dalam suatu penilaian terukur atas kompetensi dan profesionalisme dalam meniti karier
Lemahanya penilaian kinerja aparatur juga tercermin pada sistem DP3, kurang objektif dan bahkan kontraproduktif. Angka penilaian tidak boleh turun dari tahun ke tahun, mendorong atasan untuk memberi penilaian yang normatif. Instrumen yang dinilai banyak yang abstrak sehinga sulit untuk mengukur objektifitas situasi. Sistem penilaian kinerja, sangat sulit memakai ukuran dalam profesionalisme dan kinerja. Ukuran yang dipakai berupa Daftar Penilaian Prestasi Pegawi (DP3), maka sulit mengukur kinerja PNS. Manajemen kepegawaian belum berorientasi kinerja secara terukur. Bahkan pada penilaian sekalipun, seperti DP3 tidak menunjukkan suatu penilaian yang terukur, apalagi bentuk-bentuk lain manajemen kepegawaian.
Birokrasi dan Lembaga Adat
Oleh: Dr. Zulkarnaen *
1. Pendahuluan
Pembangunan berkaitan dengan aspek kontekstual, karena itu model pembangunan signifikan dikaitkan dengan variabel kompleksitas keunikan lingkungan. Kebijakan, program pembangunan yang mengisolasi keunikan lingkungan adalah tidak mungkin. Contoh penerapan kebijakan uniform rezim orde baru pada pemerintah daerah telah menimbulkan bekas luka yang dalam, terbukti gagal merealisasi Indonesia raya.
Nilai baru yang masuk, dalam kaitan ini membangun pemerintahan modern tidak dapat mengisolasi nilai lingkungan yang sudah ada. Nilai baru yang ‘baik’ sekalipun tidak dapat begitu saja diterapkan pada suatu kondisi, lingkungan tanpa melalui proses kontak dengan nilai setempat. Tanpa kontak melalui komunikasi, sosialisai, alih tekhnologi, pemberdayaan, transparansi, partisipatif, akuntabilitas pada masyarakat setempat dapat menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat atas nilai baru yang dapat berupa program pembangunan, lebih jauh potensial terjadi penolakan.
Dilihat dari perspektif administrasi pembangunan, Kalimantan Barat (Kalbar) sedang mengalami perubahan dari kelembagaan tradisional yang berorientasi status ke pola pemerintahan modern. Keadaan transisi ini memerlukan arah yang jelas untuk mewadahi transformasi dan aktualisasi nilai-nilai kultural bangsa supaya menjadi efektif bagi penyelenggaraan pemerintahan modern. Masa peralihan, acapkali merupakan saat kritis yang memerlukan kejelasan konsep penanganannya. Kalbar memerlukan kekuatan konsep harmonisasi nilai modern dan tradisi, agar segenap stakeholder daerah membangun dapat secara bersama-sama menemukenali masalah kemudian merumuskan pemecahan masalah sehingga dapat dihasilkan pedoman bersama yang diterima segenap elemen daerah membangun yang ada di Kalbar.
2. Kondisi Sosial Budaya Kalbar
Di Kalbar, selain dikenal wilayah negara, terdapat didalamnya wilayah kesatuan adat yang di perdesaan memiliki kekuatan, kekuasaan menjalani adat. Kesatuan kelembagaan adat bagi masyarakat dan para pengurus adat yaitu membina masyarakat adat di dalam lingkungan binuanya. Pengelolaan rumah tangga pada kesatuan wilayah adat ini dilakukan secara otonom untuk menegakkan ketertiban hidup bermasyarakat dalam suatu penyelenggaraan kelompok yang telah dikenal sejak lama oleh mereka.
Sejarah sub-sub suku Dayak terbiasa dengan penyelenggaraan rumah tangga secara otonom. Dalam kondisi demikian, dapat menimbulkan sikap keras, ekstrim dari pemuka adat dan masyarakat untuk bersikukuh pada pola pikir dan pola tindak menurut apa yang mereka yakini dalam mensikapi pembangunan masyarakat. Hal demikian bukan berarti mereka anti perubahan, hal yang penting adalah memahami, memiliki pengetahuan secara benar tentang Dayak dahulu sebelum hendak ‘membangun’ mereka. Sejarah membuktikan penduduk asli di Kalbar tidak alergi pada perubahan, mengindikasikan mereka sebagai masyarakat terbuka.
Tidak ada dalam hidup ini, pada suatu subjek manusia, masyarakat hanya memiliki aspek positif, kelebihan saja dengan tanpa memiliki aspek negatif, kekurangan, kelemahan. Demikian juga nilai budaya masyarakat Kalbar, tidak saja memiliki sisi positif, kondusif pembangunan, juga ada sisi negatif, penghambat pembangunan. Selayaknya tahu atas kekurangan bukan hanya mengungkapkan ‘kelebihan’ tanpa ada parameter yang kuat, mengklaim paling potensial
Acapkali kita lebih banyak mengutarakan segenap kelebihan, yang hanya meninabobokkan. Aspek kekuatan sangat layak untuk dikedepankan, tetapi kelemahan dan ancaman daerah membangun Kalbar selayaknya juga dipaparkan secara jujur. Adanya pemetaan secara jujur dan jernih atas nilai sosial budaya masyarakat dapat sebagai langkah pertama dan mendasar daerah membangun. Kerusuhan antar etnis yang berkali-kali terjadi, penanganan pengungsi yang berlarut-larut, potensi konflik horizontal dalam politik lokal, faktor keamanan dan supremasi hukum masih merupakan halangan utama bagi investor, pihak luar. Nilai kreativitas, kewirausahaan yang kurang melekat pada budaya kita. Realitas sosial budaya ini menunjukkan ada sisi negatif pada nilai sosial budaya kita. Selain tentu saja, ada sisi yang salah pada kebijakan pembangunan dan nilai baru, modern yang masuk.
3. Model Pembangunan Daerah
Mustopadidjaya (1988) berpendapat, pembangunan negara-negara dunia ketiga umumnya diawali dan ditandai dengan ketidakjelasan konsepsional pada tata nilai ataupun model dan strategi pembangunan yang dipilih. Model pembangunan Kalbar tidak dapat meniru begitu saja keberhasilan model pembangunan daerah lain, negara lain karena arah pembangunan berarah dan bermodel banyak. Prinsip perubahan sosial adalah tidak linier; model pembangunan USA ataupun Jepang yang berhasil diterapkan pada lingkungan mereka tidak dapat begitu saja menjadi satu-satunya model pembangunan yang akan menjadi acuan kebijakan pembangunan.
Kebijakan pembangunan era orde baru cenderung menggunakan pendekatan teori modernisasi lama (So, 1994) yaitu mempertentangkan tradisi dan modern. Untuk merealisir model pembangunan yang demikian melalui pengendalian kebijakan uniform, membuat kekuasaan yang begitu besar berada di pemerintah pusat, tingkat atas.
Konsep mempertentangkan nilai baru dengan lama terbukti tidak membawa perubahan masyarakat daerah menuju modern, maju. Dapat dikatakan, mengabaikan nilai, struktur kontekstual pada kebijakan pembangunan menghasilkan pertentangan yang tajam dan mendasar dalam jangka lama. Saat kini yang diperlukan harmonisai nilai baru (pemerintahan modern, good governance) dengan nilai tradisi (nilai sosial budaya masyarakat Kalbar), sejalan konsep teori modernisasi studi baru (So, 1990). Teori modernisasi studi baru secara sadar menghindar untuk menyajikan analisis pada satu variabel. Perhatiannya lebih ditujukan untuk mengamati dan menganalisis secara serentak dan simultan terhadap berbagai pranata yang ada (sosial, budaya, ekonomi, dan politik) berbagai kemungkinan arah pembangunan, dan interaksi antara faktor internal dan eksternal.
Perspektif teori modernisasi baru yang tidak mempertentangkan antara nilai tradisi dan modern dalam proses pembangunan merupakan bentuk manajemen pembangunan yang memiliki kerangka kuat mengendalikan birokrasi dan kelembagaan adat bekerjasama secara sinerjik. Ruang harmoni modern dengan tradisi memberi kesempatan segenap elemen masyarakat Kalbar untuk menemukenali masalah secara bersama-sama dengan tidak saling curiga, permusuhan kemudian secara bersama-sama, sinerji memecahkan masalah tersebut –partisipatif mengatasi masalah bersama. Segenap kekuatan lokal, tradisional yang ada di Kalbar seperti adat, kebiasaan, institusi lokal diberdayakan, difasilitasi, didorong untuk berpartisipasi pada daerah membangun, bukannya dengan pendekatan memusuhi institusi lokal. Harmoni pemerintahan modern dengan nilai sosial budaya masyarakat merupakan strategi yang efektif untuk memberdayakan masyarakat Kalbar. Ada gerak sinergis antara nilai modern dan tradisi dalam daerah membangun..
Keberhasilan otonomi daerah tidak saja dipengaruhi oleh berdayanya pemerintahan, tetapi juga masyarakat yang berdaya. Demikian juga penerapan pemerintahan modern, good governance baru dapat diwujudkan dimana masyarakat telah berdaya, di lain sisi, masyarakat dapat berdaya jikalau pemerintah, negara berdaya dan memiliki komitmen memberdayakan masyarakat. Masyarakat akan terdorong pemberdayaannya. Ini juga bermakna mendorong pelaksanaan otonomi daerah yang efektif.
4. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Sesuai Zamannya dan Masalah Disharmoni
Tidak ada model pembangunan yang dapat diterapkan pada berbagai lingkungan sehingga menghasilkan hal yang sama. Saat kini, beban pemerintah daerah semakin berat maka efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dengan sendirinya semakin menjadi kebutuhan. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi memberi ruang yang lebar bagi pemerintah daerah yang kreatif, inovatif dan profesional untuk mencapai tujuan. Melalui desentralisasi membangun struktur pemerintahan yang mampu mendekatkan dengan rakyat. Kebijakan desentralisasi mendorong sasaran smaller, better, faster and cheaper government. Format desentralisasi potensial penyelenggaraan daerah membangun yang partisipatif, transparansi, akuntabilitas sebagai pelaksanaan prinsip good governance.
Tidak ada suatu desain yang ‘ampuh’ untuk segala kondisi. Tugas manajer dalam desain organisasi adalah menetapkan suatu kesesuaian efektif antara struktur organisasi dan variabel tersebut. Demikian juga upaya membangun pemerintahan modern yang dalam penyelenggaraan berdasarkan prinsip-prinsip good governance. pada penerapan tidak ada prinsip-prinsip yang sama untuk semua kondisi. Ini bermakna, prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaannya tidak dapat mengabaikan institusi, nilai, struktur lokal untuk berpartisipasi daerah membangun.
Penerapan pemerintahan modern yang memiliki struktur, perilaku, dan proses modern di suatu masyarakat tradisional ternyata rumit dipahami dan berpartisipasi masyarakat tersebut. Hal yang acapkali ditemui di lapangan penyebabnya adalah faktor rendahnya sosialisasi program pembangunan pada masyarakat. Sosialisasi menjadi tahap yang urgen apalagi pada program yang merupakan bentuk top-down. Selain itu, terhambatnya penerapan pemerintahan modern karena syarat masyarakat yang berdaya tidak mampu dipenuhi. Pemberdayaan masyarakat sampai saat kini belum dijalani secara sistematis, terprogram, riil; pemberdayaan masih dalam tahap wacana publik yang berkepanjangan, kurang disikapi scara operasional menjawabnya..
Selama ini di Kalbar pada penyelenggaraan pemerintahan di masyarakat ada semacam ketidakpercayaan birokrasi pemerintah pada institusi lokal untuk dijadikan sebagai counterpart pembangunan. Di lain pihak, institusi lokal yang memiliki kekuasaan mengakar pada masyarakat tidak sepenuhnya mau dikendalikan oleh birokrasi pemerintah. Kerangka pikir harmoni, saling mau menerima, sinergi, empati belum terbangunkan secara tulus.
Pengkotakan modern dan tradisi di Kalbar begitu terasa pada penanganan program pembangunan. Ada pelaksanaan program pembangunan yang diklaim sebagai kepunyaan masyarakat Dayak atau Melayu dan ada ‘milik’ pemerintahan. Terindikasikan bahwa identifikasi program pembangunan tidak dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Persaingan secara diam-diam di antara modern dan tradisi semakin menguat sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Emosi yang berlebihan sehingga menimbulkan pengkotakan tradisi dan modern adalah kontraproduktif bagi kemajuan Kalbar.
Masalah kita lemah menggunakan kekuatan pola pikir harmoni. Kita lebih mengedepankan konflik daripada harmoni. Padahal tuntutan masa kini dan depan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip good governance dan reinventing government serta berlandasakan pada teori modernisasi studi baru sebagai revisi teori modernisasi yang diterapkan oleh pemerintahan orde baru; pemerintahan daerah Kalbar memerlukan kekuatan harmoni modern dan tradisi sebagai suatu bentuk konkrit mensinergiskan pemangku kepentingan dalam upaya daerah membangun.
5. Pemerintahan Modern yang Berpijak Pada Harmoni Modern dan Tradisi
5.1. Menuju Pemerintahan Modern
Era otonomi memberi ruang yang lebar pada daerah untuk menuju pemerintahan modern. Otonomi daerah memerlukan kreativitas dalam mengelola pemerintahan sehingga mampu menuju peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat daerah. Keberhasilan otonomi daerah tidak diukur hanya dari parameter kemampuan daerah menaikkan PAD yang diperoleh, tetapi yang lebih utama adalah kesejahteraan rakyat.
Daerah yang hanya pandai menaikkan restribusi, pajak untuk meningkatkan PAD sementara rakyat terbebani dan investor disulitkan urusannya, merupakan indikasi ketidakmampuan, profesional daerah mengelola pembangunan. Otonomi daerah tidak untuk memberatkan beban rakyat yang sudah berat, tetapi mendorong daerah, rakyat agar meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Di daerah-daerah, termasuk di Kalbar, kemampuan membelanjakan keuangan masih tidak produktif. Sebagian besar untuk keperluan rutin, pembelian kendaraan, membangun gedung yang megah padahal rakyat dalam pelayanannya tidak memerlukan hal itu, seharusnya yang dilakukan adalah pembelanjaan kreatif sehingga mampu memberi multiplier effect.
Di beberapa tempat di perdesaan Kalbar, pelaksanaan persalinan telah terbangun kerja yang harmoni antara dukun dengan tenaga medis kesehatan modern. Dukun bayi diberi pelatihan seperti penggunaan instrumen yang berkaitan pada pertolongan persalinan hendaknya steril. Namun berkaitan dengan cara menolong, tetap mengguna-kan cara pengobatan tradisional. Harmoni nilai baru dengan lama bidang kesehatan dapat menjadi model referensi dalam penanganan bidang pembangunan yang lain. Foster dan Anderson (1986) tidak ada perubahan dalam sistem yang dapat dilakukan dengan mengisolasi sistem yang ada. Pemerintahan modern yang memiliki nilai universal berupa prinsip good governance, tidak akan dapat diterapkan jika mengabaikan sistem yang ada.
Fungsi manajemen pada masa kini dan depan tidak lagi efektif menggunakan fungsi komando, pengarahan, pembinaan, fungsi manajemen yang tepat pada zamannya yaitu kemitraan, fasilitasi, kerja tim, komitmen bersama, sejalan yang dikemukakan oleh Institute on Governance (1996) menjabarkan kerangka administrasi publik yang bercirikan good governance sebagai berikut:
Kerangka kerja tim (teamwork) antar organisasi, departemen dan antar wilayah;
Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan setiap unsur dalam masyarakat;
Komitmen tanggungjawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan serta sinergis dalam pencapaian tujuan;
Sistem imbalan mendorong keberanian menanggung resiko (risk taking) dan berinisiatif;
Adanya pelayanan publik: (a) berorientasi pada masyarakat yang dilayani (client centered); (b) layanan yang merata, tidak deskriminatif (inclusive); (c) pelayanan publik yang mudah dijangkau (accessible) masyarakat; (d) bersifat bersahabat (user friendly); (e) pemerataan yang berkeadilan (equitable) dalam tindak dan layanan; (f) mencerminkan wajah pemerintah yang sebenarnya dan tidak menerapkan stantar ganda; (g) berfokus pada kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi pemerintah (outwardly focused); (h) bersikap profesional; (i) bersikap tidak memihak (non-partisipan).
5.2. Kontak Kebudayaan
Pertentangan modern dan tradisi dapat semakin menguat dan meruncing di era otonomi daerah. Faktor penghambat harmoni nilai modern dan tradisi, tidak hanya dari satu sisi saja, tetapi dapat berasal dari kedua sisi. Nilai modern, pemerintah tidak percaya pada tradisi, institusi lokal, demikian juga pada nilai tradisi, institusi lokal karena merasa telah lama dizalimi oleh pemerintah pusat, top-down melakukan perlawanan, penolakan masuknya nilai luar. Kedua sisi tersebut sudah selayaknya mau saling mendekatkan diri menggunakan pola pikir harmoni. Ada kesiapan untuk welcome pada budaya lain.
Held (1984) orang tidak boleh tergantung pada kebudayaan tertentu saja untuk bisa bertahan hidup, dan pilihan orang untuk menggabungkan diri kedalam kebudayaan lain haruslah bersifat sukarela. Demikian pula pada lingkup masyarakat, daerah untuk pengembangan memerlukan berhubungan dengan kebudayaan lain.
Pertemuan nilai modern dengan tradisi tidak mungkin dihindari dalam proses modernisasi bangsa. Pertemuan kedua nilai tersebut selayaknya dipandang melalui kekuatan pikir harmoni, sinerji bukannya dipandang dalam suatu ruang konflik. Selama ini yang terjadi antara nilai baru dengan lama diposisikan bertentangan, berhadap-hadapan. Akibatnya terjadi benturan secara keras antara nilai baru dan lama, terjadi pertikaian masyarakat adat dan investor ataupun pemerintah daerah -kasus kerusuhan sosial, pembakaran kamp perusahaan dll. Dikemukakan oleh Smelser (dalam Weiner, 1966) pertentangan terus menerus antara cara modern dan tradisional adalah salah satu sumber kerusuhan sosial.
Semangat otonomi daerah dan globalisasi adalah berbeda. Namun tidak berarti tidak dapat dipertemukan. Ada upaya secara mendasar yang dapat dilakukan untuk mempertemukan otonomi dan global, yaitu kontak kebudayaan. Di era otonomi daerah semakin kita memerlukan kontak kebudayaan sebagai upaya pengayaan, pengetahuan, wawasan membangun kreativitas mengelola daerah membangun. Untuk kemajuan peradaban, kesejahteraan hidup suatu masyarakat, ia harus senantiasa belajar dan mendorong kemajuan budayanya. Demikian juga untuk kemajuan Kalbar, kita perlu mengintensifkan kontak kebudayaan. Di era global, di alam keterbukaan ini semakin mendorong untuk welcome. Memang banyak daerah yang mengklaim budaya mereka welcome, tetapi di sana-sini terjadi pertikaian antara nilai baru dengan masyarakat.
Tidak ada konflik yang melekat antara aspek tradisi dan modern. Ditunjukkan Jepang, bahwa tradisi itu justru lebih menjadi tenaga pendorong perubahan ketimbang menjadi hambatan. Jepang berpedoman pada woken yosei atau semangat Jepang dengan teknik Barat. Konsep demikian dapat sebagai referensi majunya peradaban, ekonomi Jepang karena keterbukaan pada budaya, tekhnologi luar. Kontak kebudayaan dijalani secara efektif. Kontak kebudayaan, welcome pada nilai baru, termasuk pengaturan pemerintahan dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
5.3. Pedoman Bersama
Simon & Newell (dalam Surie, 1987:59) secara bijaksana menuntun pola pikir pemecahan masalah, kelakuan memecahkan persoalan seharusnya tidak dijelaskan berdasarkan kerumitan otak manusia, tetapi lebih berdasarkan kerumitan lingkungan di mana orang yang memecahkan masalah itu bekerja. Terkait hal ini Etzioni (dalam Surie, 1987:149-150) menuntun pengambilan keputusan kemasyarakatan, merupakan suatu keterkaitan kuat antara administrasi dengan lingkungan. Strategi yang paling efektif ialah strategi yang paling cocok dengan situasi spesifik dan dengan kemampuan pelaku. Arahan bersama yang disetujui dari berbagai unsur tidak dapat mengabaikan kerumitan lingkungan, agar arahan tersebut dapat dipatuhi bersama.
Melalui kekuatan harmoni –sejalan good governance- menemukenali program daerah membangun secara bersama dan merumuskan secara bersama antara berbagai pihak yang berkepentingan yaitu unsur modern dan tradisi sehingga dari beragam elemen merumuskan alternatif jawaban yang disepakati bersama, arahan bersama. Hasil pembangunan milik bersama, tidak untuk satu pihak belaka sehingga dapat dihindari pengkotakan yang terlalu tajam.
Masalah pedoman bersama, dua institusi yang mempresentasikan modern dan tradisi di Kalbar adalah birokrasi dan institusi lokal adat, kedua institusi tersebut tidak memiliki yang disepakati sebagai pedoman bersama. Ketaatan, keyakinan institusi lokal pada nilai, norma, hukum adat di satu pihak, dan birokrasi pemerintah di pihak lain yang berfungsi sebagai agen pembangunan, bercirikan organisasi yang menggunakan nilai ‘modern’ dan memiliki kekuasaan yang mengidentifikasi sebagai negara.
Lauer (1989) modernisasi tidak menuntut ditinggalkannya tradisi di setiap langkah menuju masyarakat modern. Sayangnya semangat pembangunan masih tidak ingin ‘bersusah payah’ memadukan modern dan tradisi. Hal yang banyak terlihat, sewaktu membangun proyek modern, kemudian tradisi dikesampingkan. Demikian juga pelaksaan ‘proyek’ tradisional yang menolak segala yang bersifat modern. Indikasi tidak ada kebersamaan modern dan tradisi.
Hubungan modern dan tradisi dalam bentuk pertukaran yang tidak setara (unequal exchange) secara menarik yaitu, suatu waktu lembaga adat merasa tidak diuntungkan (saat kondisi normal di mana program pembangunan ‘berjalan’). Namun di saat terjadi kerusuhan (kondisi tidak normal) birokasi merasa tidak diuntungkan. Menunjukkan ada persaingan, bahkan konflik antara nilai modern dan tradisi. Mengindikasikan, belum ada kemauan kuat dari kedua nilai tersebut untuk membangun pedoman bersama. Masih terasa kehendak mendominasi dari satu nilai pada nilai lain, demikian sebaliknya.
Adanya dorongan kelompok membuat kelompok menilai, beranggapan sebagai yang terbaik (Mannheim, 1985). Dalam kontak kelompok-kelompok yang ada terbangun adalah solidaritas yang sempit. Kita memerlukan dorongan kelompok yang lebih besar membangun solidaritas yang dalam lingkup yang lebih besar kepentingan bersama (daerah/nasional) untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah yang berimplikasi menuju Indonesia Raya.
Birokrasi pemerintah secara nasional adalah kuat dan memegang penyaluran dana pembangunan. Kelembagaan adat secara lokal adalah kuat dan diterima oleh rakyat setempat. Pertemuan pada tingkat lokal, membuat birokrasi dan kelembagaan adat merasa kelompoknya yang terbaik dan beranggapan cara yang ditempuhnya dalam mengatasi pembangunan adalah yang paling tepat. Kedua kelompok dengan menggunakan wawasan, pengetahuan dan pendidikan mengklaim sebagai pihak yang paling benar dan mampu untuk membangun masayrakat Kalbar.
Kehendak adanya arahan, pedoman bersama dari segenap elemen masyarakat dalam mensikapi pembangunan, beranjak dari persepsi masyarakat pada pembangunan. Hasil pembangunan memang ada yang telah membawa kemajuan bagi masyarakat Kalbar yaitu tingkat pendidikan yang meningkat, membuka isolasi pedalaman Kalbar. Namun tidak semua pengalaman pembangunan yang diperoleh menyenangkan, seperti janji-janji proyek pembangunan yang katanya memberi keuntungan bagi masyarakat ternyata tak kunjung datang. Banyak terlihat jurang yang lebar dalam kehidupan masyarakat. Banyak proyek pembangunan dipersepsi oleh masyarakat bukan untuk mereka. Ada ketidakpuasan masyarakat atas pelaksanaan hasil pembangunan selama era orde baru dan kini masih berlanjut.
Kalbar yang masih mencari model daerah membangun, kini berada dalam posisi transisi, kita memerlukan pedoman bersama. Pedoman bersama sebagai kebutuhan strategis bagi daerah membangun. Segenap elemen masyarakat dan pemerintah serta swasta menemukenali masalah Kalbar kemudian secara bersama-sama merumuskan penanganan masalah tersebut.
Pertemuan modern dan tradisi yang lalu dimana ada pihak yang merasa dirugikan dan ada yang diuntungkan. Format demikian perlu dirubah untuk menuju penanganan yang memberi keuntungan bagi berbagai pihak. Joiner (1994) diperlukan pendekatan win-win solution, bekerjasama untuk mengoptimalkan sistem sebagai keseluruhan, bukan berusaha untuk mengoptimalkan bagian-bagian yang terpisahkan. Saat kini, belum terbangun sistem yang membangun ruang bersama yang dinilai adil oleh pihak yang bersaing untuk mengaktualisasi elemennya dalam kebersamaan dengan elemen lain, menuju tujuan bersama.
Menimbulkan rasa ‘kita’ dalam hubungan yang setara antar institusi, nilai modern dan tradisi. Kesalahan komunikasi tidak dapat ditimpakan hanya pada satu pihak saja dari pemerintah atau masyarakat. Saling mau dan mampu menerima keberadaan pihak lain. Singkat kata, komunikasi pembangunan menggunakan pendekatan kebudayaan. Sehingga memberi kenyamanan, keterimaan secara ikhlas, mendalam dari berbagai pihak yang berbeda.
Mengharmonikan berbagai kepentingan didorong daerah membangun secara partisipatif; diperlukan kesungguhan melibatkan segenap elemen masyarakat yang beragam berpartisipasi secara utuh. Masalahnya selama ini ada kecenderungan masyarakat diajak, didorong untuk berpartispasi hanya pada saat pelaksanaan dan pemeliharaan, tetapi kurang sungguh-sungguh melibatkan pada perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Bagaimana mungkin masyarakat akan berpartisipasi secara optimal, dan benar kalau mereka dilibatkan secara parsial. Logika partisipasi parsial membuat tidak terbangunkan pedoman bersama. Partisipasi diperlukan baik pada masyarakat, dari pemerintahan tradisional sampai modern, tanpa partisipasi dari masyarakat maka program pembangunan sulit berhasil.
Mengharmonikan modern dan tradisi pada pelaksanaan pembangunan (pedoman bersama) menggunakan prinsip-prinsip good governance: partisipatif, melibatkan secara tulus dan sungguh-sungguh segenap elemen lokal, baik yang berbentuk modern maupun yang tradisional; akuntabilitas, harmoni modern dan tradisional dapat ditunjukkan melalui akuntabilita pembangunan, tidak saja pada institusi modern, tetapi juga penting pada rakyatnya yang tradisional. Selama ini dalam penyelenggaraan pemerintahan para pemimpin menganggap pertanggungjawaban mereka lebih penting pada pemimpin, atasanya daripada rakyat yang dipimpinnya; saling menghormati, hal yang sangat diperlukan dalam kontak antar dua pihak yang berbeda untuk saling mau mendengar, memahami, empati; keterbukaan, proses kerja antara institusi modern dan tradisional di Kalbar acapkali menyulitkan untuk terbuka bagi pihak lain. Pada kegiatan tertentu dari institusi adat tertutup bagi institusi pemerintah. Demikian juga pada pertemuan pemerintahan, ada kategori tertutup bagi intitusi lokal. Padahal satu prinsip penting untuk mempertemukan modern dan tradisional adalah keterbukaan.
Persaingan yang muncul dari interaksi kultur yang berlainan sering malah bisa menimbulkan perubahan kreatif. Dikemukakan oleh Fukuyama (1999), kultur yang berbeda-beda bisa menjadi sumber keunggulan. Diperlukan kekuatan gerak saling mendekat, sebagai suatu bentuk kompromi memerlukan dari masing-masing institusi dengan nilai yang melekat padanya mau dan mampu melakukan otokritik, menunjukkan sikap kooperatif. Terbangun saling pengertian, ada kemauan untuk memandang suatu masalah dalam cara pandang yang sama. Adanya panduan bersama merupakan hal yang kondusif agar pemangku kepentingan dapat sinergis.
Di akhir kata, kebijakan daerah membangun Kalbar menuju pemerintahan modern harus melupakan kebijakan mempertentangkan (konflik) modern dan tradisi. Kalbar memerlukan harmonisasi modern dan tradisi sebagai kebutuhan riil bersama untuk menemukenali masalah bersama dan ada pedoman bersama serta segenap elemen modern dan tradisi berpartisipasi di bidangnya mensukseskan daerah membangun.
____________
* Tenaga Pengajar Fisip dan Program Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak, makalah ini dipresentasikan dalam kegiatan Seminar Internasional, se Borneo di Banjarmasin, 16 Juni 2007
Implementasi Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2005
Oleh: Dr. Zulkarnaen *
Agenda transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan republik ini merupakan persoalan yang mendasar sekaligus kompleks serta sangat banyak tantangan untuk dapat diimplementasikan agar sukses. Bagaimanapun juga transparansi terkait erat upaya menuju pemerintahan yang good governance. Untuk mencapai good governance, salah satu pilar utama adalah diterapkannya transparansi. Perda ini jelas ingin mendorong secara mendasar dan konstitusional penyelenggaraan pemerintahan provinsi, negara yang transparan. Kompleksitas transparansi tidak terlepas dari masalah besar bangsa ini adalah korupsi. Namun kita ketahui bersama korupsi di republik ini merupakan masalah strukural dan budaya; dari atas ke bawah dan bawah ke atas banyak yang terlibat.
Pemberantasan korupsi tidak mungkin dapat dilakukan jikalau penyelenggaraan pemerintahan tidak good governance yang salah satu prinsip utamanya adalah transparansi. Demikian juga prinsip transparansi sulit ditegakkan jikalau kehidupan korup masih terus disikapi secara tidak tegas. Ini berarti jikalau penyelenggaraan pemerintahan yang transparan terimplementasi secara sukses bukan mustahil kondisi demikian tidak dikehendaki oleh pelaku korupsi, baik dari pemerintahan, dewan, swasta maupun publik yang korup.
Formulasi dan Implementasi
Proses penyusunan peraturan daerah tentang transparansi adalah tahapan formulasi kebijakan. Tahapan ini adalah tahapan yang sulit, ini ditunjukkan dengan begitu alotnya proses perumusan/formulasi kebijakan (perda) tansparansi. Begitu banyak dan beragamnya kepentingan, nilai yang menyertai perumusan kebijakan ini. Berbagai pihak yang peduli pada transparansi begitu serius mengawalnya pada saat perumusan/formulasi kebijakan.
Tingkat kesulitan formulasi kebijakan telah dilalui setelah ditetapknnya Perda transpransi, ini menunjukkan apa yag telah dirumuskan mampu memuaskan berbagai pihak. Perda transparansi ini juga dapat sebagai kebanggaan kita karena tidak semua daerah memilikinya.
Namun, tahapan yang sulit pada formulasi kebijakan akan menghadapi tahapan yang lebih sulit lagi yaitu implementasi kebijakan publik. Banyak kebijakan, perumusan kebijakan publik sudah ditetapkan, tetapi mengalami kegagalan dalam tahapan implementasi hal demikian membuat kerugian; biaya (uang rakyat) yang besar telah dikeluarkan tidak menghasilkan hal yang bermanfaat dalam menata, membangun republik ini.
Tidak banyak pihak-pihak yang secara konsisten mengawal, kerja keras, cerdas, dan berkesinambungan menerapkan perda yang strategis ini untuk menuju good governance. Banyak pihak yang hanya bangga atas kepemilikan daerah atas perda transparansi, tetapi tidak terlalu peduli dan serius menerapkannya. Kita masih dalam tahap mampu merumuskan kebijakan yang baik, tetapi lemah dalam mengimplementasi. Apakah kita hanya punya kemampuan sebatas formulasi –tertulis, retorika ? tetapi tidak mampu menerapkan kebijakan secara sukses ? termasuk dalam penerapan perda transparansi.
Ada indikasi kuat, seakan-akan ketidakjelasan, kabur, sembunyi-sembunyi dipertahnkan agar kenikmatan yang diperoleh tetap terpelihara. Transparansi membuat urusan menjadi terang dan mudah dipahami oleh publik. Kok tidak dilaksanakan ? ada apa ?
Transparansi memudahkan suatu masalah terketahui secara terang/tembuspandang/transparan, bukankah ini membuat publik akan mudah memantau dan menilai, apakah tindakan benar dan atau salah. Transparansi merupakan salah pilar utama untuk menuju good governance, menegakkan pilar utama memang pekerjaan besar. Untuk tegak pilar utama memerlukan kesiapan berbagai elemen: birokrasi, pemerintah, penguasa, dan kualitas rakyat serta tekhnologi. Transparansi tidak hanya ditentukan oleh kemampuan, tetapi juga political will dari pemerintah, penguasa untuk mendorong dari dalam dan luar mengimplementasi transparan pada formulasi dan implementasi pembangunan.
Implementasi Perda Transparansi
Indikator analisis implementasi merujuk pendapat George W. Edward III. Oleh karena pertemuan ini didisain dalam format diskusi publik, maka tulisan ini membentang isyu-isyu strategis dibahas dalam bentuk pertanyaan agar kita sama-sama menilai implementasi perda transparansi, sekaligus mendorong penerapannya agar sukses.
Komunikasi:
Apakah publik mengetahui, apa perda transparansi?
Apakah perda ini sudah tersosialisasi ?
Masyarakat tersosialisasi atau tidak atas perda transparansi dalam suatu kesamaan persepsi dan pengetahuan ?
Spirit mendorong implementasi perda transparansi agar sukses, beranjak dari indikator komunikasi ini.
Bagaimana dukungan mass media dalam sosialisasi perda transparansi ini; Proses perumusan perda, mass media lokal memberi perhatian yang memadai. Namun, apakah tahap implementasi, mass media lokal mensosialisasi isi perda ?
Sosialisasi perda transparansi yang belum optimal, menjadi tanggungjawab kita bersama yang klaim sebagai pihak yang peduli atas transparansi. Transparansi tidak hanya menyangkut pemahaman publik atas isi perda ini, namun lebih jauh lagi bagaimana publik juga tahu dan benar mengimplementasi perda ini.
Sumber daya:
Aktor kebijakan perda transparansi tidak hanya pemerintah, tetapi juga publik yang akan menggunakan haknya untuk memperoleh transparansi atas penyusunan dan penyelenggaraan pemerintahan sebagai suatu bentuk konkrit partisipasi publik dalam pembangunan. Demikian juga mass media sebagai pihak yang signifikan mempengaruhi sukses/gagal implementasi.
Berkaitan dengan kuantitas dan kualitas staf atas mekanisme transparansi ? menuntut kualitas manajemen terobosan, kreatif. Untuk mencapai itu diperlukan kompetensi, profesional, kualitas aparatur.
Penguasaan agen, staff atas informasi dalam kaitan transparansi ?
Sikap:
Bagaimana sikap pelaksana (pemerintah, swasta, masyarakat madani) diartikan sebagai keinginan atau kesepakatan untuk menerapkan perda transparansi ? bagaimana political will penguasa ?
Bagaimana kepatuhan pelaksana dan para pihak terkait, stake holders atas kebijakan ini?
Struktur birokrasi:
Apakah nilai birokrasi telah disiapkan untuk mengimplementasi perda transparansi ? seperti nilai keterbukaan, mau dikritik, melayani, mudah diakses ? Indonesia membutuhkan reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi yang siap untuk menerapkan perda transparansi ini.
Bagaimana jalannya reformasi birokrasi, sama dengan reformasi lain seperti hukum tidak jelas arahnya.
Namun sebagai pihak yang peduli atas transparansi tidak berarti mengimplemntasikannya lalu ketergantungan pada reformasi birokrasi, arti setelah reformasi birokrasi baru diterapkan perda ini. Jelas tidak seprti ini jalan pikirnya, bahkan tidak mustahil alur pikir dirubah, penerapan transparansi, termasuk perda transparansi ini dapat menjadi pendorong yang kuat untuk mereformasi birokrasi.
Arti strategis perda transparansi ini jika terimplementasi dengan sukses dapat mendorong reformasi birokrasi dan menuju pemberantasan korupsi yang memberi ruang lebar bagi publik berpartisipasi dalam formulasi dan penyelenggaraan pemerintahan, good governance.
Revitalisasi Birokrasi Tingkatkan Pelayanan Prima Melalui Sumber Daya Aparatur yang Berkualitas
Pendahuluan
Sejalan dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, kemajuan ilmu dan teknologi, pelaksanaan otonomi daerah dan arus globalisasi yang kesemua hal tersebut mendorong tuntutan publik atas peningkatan standar pelayanan. Tuntutan publik yang dinamis perlu dijawab oleh aparatur yang berkualitas, profesional, berdaya. Kinerja Aparatur Tidak dapat dilepaskan dari Struktur birokrasi yang mempengaruhi proses dan perilaku birokrasi dalam pemberian pelayanan publik.
Dalam keseharian secara garis beras dapat kita katakan, bahwa kinerja pelayanan publik masih bercirikan tidak memiliki kepastian waktu, biaya, dan persyaratan yang ditempuh. Masalah pelayanan publik yang kurang mampu memuaskan atas tuntutan publik merupakan hal yang operasional dan keseharian.
Konsep dan Praktik Birokrasi
Robbins (1995:338), karakteristik-karakteristik essensi birokrasi Weber, yaitu:
1. Pembagian Kerja
2. Hirakhi Kewenangan yang Jelas
3. Formalitas yang Tinggi
4. Bersifat Tidak Pribadi (impersonal)
5. Seleksi dan Promosi didasarkan atas Kualifikasi Teknis, Kemampuan dan Prestasi
6. Jejak Karier bagi Para Pegawai
7. Kehidupan Organisasi Dipisahkan dengan Jelas dari Kehidupan Pribadi
Landasan Konsep birokrasi Max Weber adalah Rasionalitas; pengertian Weber ttg birokrasi menunjukkan essensi organisasi yang ideal; model birokrasi Weber lebih merupakan gambaran yang hipotesis ketimbang yang sebenarnya tentang kebanyakan organisasi; birokrasi yang ideal, perwujudan tertinggi rasionalitas (Warwick et al., 1980)
Praktik birokrasi, Schmoller (dalam Albrow, 1989:43) cenderung ke arah penyimpangan patologis dari jalan normal administrasi yang sehat. Robbins (1995:343-347) mengidentifikasi penyelewengan fungsi birokrasi: (1) Penyimpangan tujuan; (2) Penerapan peraturan yang tidak tepat; (3) Keterasingan pegawai; (4) Konsentrasi Kekuasaan, dan (5) Frustasi dari yang bukan anggota. Hicks (1987:234-245) memaparkan penyelewengan fungsi birokrasi, karena: (1) Rigiditas; (2) Impersonalitas; (3) Pengalihan Tujuan; (4) Pembatasan kategorisasi; (5) Mempertahankan dan Pembentukan kemutlakan sendiri; (6) Nilai Pengendalian; (7) Kekhawatiran.
Asset sumber kekuasaan birokrasi
Alasan pertama mengapa birokrasi kuat secara politik, karena birokrasi secara institusional memiliki sumber-sumber kekuasaan yang sangat besar dibanding dengan institusi lainnya dalam sistem politik seperti parpol, ormas, organisasi profesi, LSM, kalangan pengusaha dll.
Guy Peters (1978) setidaknya birokrasi memiliki empat sumber kekuasaan penting, yakni penguasaan informasi dan keahlian, kewenangan yang terkait dengan pengambilan kebijakan, adanya dukungan politik (legitimasi) dan sifatnya yang permanen dan stabil. Mochtar Mas’oed (1987), birokrasi memiliki empat sumber kekuasaan, yakni: peranannya sebagai personifikasi negara, penguasaan informasi, kepemilikan keahlian teknis, dan status sosial yang tinggi.
Legitimasi sebagai personifikasi negara, melalui sumber ini, birokrasi mendapatkan mandat undang-undang untuk mengatur kehidupan negara sehingga dapat bertindak atas nama negara. Ada legitimasi, ada kewenangan. Dapat menjadi masalah, negara suatu wujud yang abstrak sehingga gampang dimanipulir oleh birokrasi, apalagi tanpa kontrol. Birokasi dapat bertindak apa saja berlindung kalimat ’atas nama negara’.
Penguasaan informasi, birokrasi bertugas mengurus penyelenggaraan negara dan pelayanan, maka institusi ini memiliki jaringan informasi yang banyak. Mereka sudah menjalankan lama sekali fungsinya dan tercatat, sehingga dapat dipahami seorang menteri departemen bisa didekte oleh birokrat departemen. Birokrat dapat sewaktu-waktu menggunakan dan menyimpan informasi yang mereka miliki untuk menekan dan mendukung, krena penguasaan informasi.
Keahlian teknis, aparatur, birorkrat memiliki keahlian teknis yang tak dimiliki pihak lain.
Status sosial yang tinggi (diakui/tidak) dari birokrat merupakan asset kekuasaan. Realitas sosial kini memang banyk profesi lain yang punya status sosial yang tinggi.
Lembaga yang permanen, posisi birokrat dan birokrasi dari sudut kestabilan, paling tinggi. Perusahaan bisa cepat bubar demkian juga LSM, Ormas, organisasi ini tingkat solidaritas dan stabilitasnya sangat cair.
Birokrasi pemerintah, walau tidak sehat sulit untuk bubar kecuali kehendak perundang-undangan.
Masters (dalam Gaspersz, 1997:265), hambatan-hambatan pengembangan sistem manajemen kualitas, termasuk manajemen pelayanan publik sebagai berikut:
1. Tidak ada komitmen dari manajemen
2. Ketidak pengetahuan atau kekurangpahaman tentang manajemen kualitas.
3. Ketidak mampuan mengubah kultur organisasi.
4. Ketidaktepatan perencanaan kualitas.
5. Ketiadaan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan.
6. Ketidakmampuan membangun suatu learning organization yang memberikan perbaikan terus menerus.
7. Ketidakcocokan struktur organisasi serta departemen dan individu yang terisolasi.
8. Ketidakcukupan sumber daya.
9. Ketidaktepatan sistem penghargaan dan balas jasa bagi karyawan.
10. Ketidaktepatan mengadopsi prinsip-prinsip manajemen kualitas ke dalam organisasi.
11. Ketidakefektifan teknik-teknik pengukuran dan tidak adanya akses ke data dan hasil-hasil.
12. Berfokus jangka pendek dan menginginkan hasil yang cepat.
13. Ketidaktepatan dalam memberikan perhatian pada pelnggan internal dan eksternal.
14. Ketidakcocokan kondidi untuk implementasi manajemen kualitas.
Ketidaktepatan menggunakan pemberdayaan (empowerment) dan kerja sama (teamwork)
Mengeliminasi penyalahgunaan kekuasaan birokrasi
Netralisasi birokrasi
Penguasa dan politisi boleh berganti-ganti, tetapi birokrasi harus tetap pada posisinya, dan steril dari pengaruh keberpihakan.
Prinsip netralitas: terbebas dari pemihakan kelompok tertentu terhindar dari diskriminatif dan terbebas dari campur tangan parpol dalam proses rekruitmen.
Pengaturan dan pembatasan sumber kekuasaan
(kesetaraan eksekutif dan legislatif) pihak eksekutif merumuskan berupa regulasi atas batasan-batasan penggunaan kewenangan birokrasi.
Aset kekuasaan untuk bertindak atas nama negara harus didefinis secara jelas, terukur sehingga birokrat seperti badan kepolisian, kejasaan, militer tidak betindak sewenang-wenang.
Memperkuat partisipasi masyarakat
Pemberdayaan; hak dan kewajiban masyarakat diketahui dan diterapkan; partispasi yang utuh dilaksanakan secara konsisten.
Menjadikan birokrasi sebagai institusi terbuka
Membangun responsibilitas birokrasi
Diketahui pelanggan atas tugas, hak dan kewajiban sehingga meraka dapat menuntut birokrat.
Kinerja Pelayanan Publik
Perhatian atas kinerja pelayanan publik semakin hari semakin diperlukan, sejalan dengan tuntutan publik yang menghendaki pelayanan prima, berkualitas dan dalam proses pelayanan yang nyaman, ramah, cepat dan murah serta adil. Pelayanan publik merupakan ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan dalam berhubungan pada masyarakat, publik. Ini berarti kesuksesan pelayanan publik adalah kesuksesan pemerintah.
Suatu hal yang kita ketahui bersama, merupakan hal yang mendasar dalam pelayanan publik yaitu diperlukan adanya standar pelayanan minimal. Namun fakta di daerah ini hampir semua instansi belum memiliki rumusan standar pelayanan minimal. Jikapun sudah memiliki, masalah yang muncul implementasinya bermasalah.
Publik dalam pelayanan menuntut seperti kejelasan dan kepastian atas pembayaran dan persyaratan, kepastian waktu selesai, dan tepat serta ramah. Banyak proses penyelesaian surat entah itu disengaja atau tidak, jarang suatu kantor memaparkan secara terbuka tanggal, pukul berapa surat permohonan/formulir masuk dan selesai diambil, sehingga dengan tercatat waktu pendaftaran maka akan terhitung waktu proses penyelesaian pelayanan publik.
Salah satu kelemahan kualitas pelayanan aparatur adalah ketidaktahuan secara terukur dan operasional atas pelayanan yang berkualitas. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep. 25/M.Pan/2/2004 mengembangkan 14 unsur yang dianggap relevan, valid, realible sebagai unsur minimal yang harus ada untuk dasar pengkuran indeks kepuasan masyarakat, sbb.:
- Prosedur pelayanan; yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
- Persyaratan pelayanan; persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannnya.
- Kejelasan petugas pelayanan; keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggngjawabnya).
- Kedisiplinan petugas pelayanan, kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan terutam terhadp konsisitensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
- Tanggungjawab petugas pelayanan, kejelasan wewenang dan tanggungjawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
- Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan dan menyelesaikan pelayanan kepada msyarakat.
- Kecepatan pelayanan, target waktu pelayanan dapt diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan.
- Keadilan mendapatkan pelayanan; pelaksanaan pelayann dengan tidak membedakn golongan/status masyarakat yang dilayani;
- Kesopanan dan keramahan petugas; yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakt secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
- Kewajaran biaya pelayanan; keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan.
- Kepastian biaya pelayanan; kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
- Kepastian jadual pelayann; pelaksanaan waktu pelayann, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
- Kenyamann lingkungan; kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikn rasa nyama kepada penerima pelayanan.
- Keamanan pelayanan; yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan sehingga masyaraka merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Strategi Peningkatan Kinerja Aparatur dalam Menjawab Tuntutan atas Pelayanan Publik
Aparatur yang berkualitas, profesional, kompetensi, tentu saja tidak muncul begitu saja, ini merupakan output dari rangkaian yang utuh yaitu mulai rekruitmen dan pembinaan PNS. Ini berarti, upaya peningkatan kemampuan dan kualitas aparatur sudah dimulai sejak penerimaan pegawai. Penjaringan pegawai baru dimaksudkan untuk mendapatkan pegawai-pegawai dengan kualitas tinggi, sebagaimana dilakukan negara-negara Korea, Taiwan, Cina, Jepang dan Malaysia untuk meningkatkan kinerja. Pengembangan kualitas kepegawaian dan orientasi pelayanan publik prima akan bermasalah kalau rekrutmen bermasalah.
Kesulitan pembinaan aparatur berawal dari mental calon PNS 60 % ingin menjadi pegawai negeri karena motivasi jaminan hari tua. Bukan karena motivasi memberi pelayanan yang optimal pada masyarakat. Bisa kita bayangkan begitu tingginya tingkat kesulitan bagi institusi yang diserah tugas pokok dan fungsi untuk meningkatkan kualitas calon PNS yang demikian dan mengubah nilai minta dilayani menjadi orientasi melayani.
Pengembangan dan pemberdayaan aparatur negara dalam peningkatan kinerja hendaknya merupakan learning process, yakni dengan dukungan sebuah sistem pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran tetap harus berjalan dan dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah itu sendiri, dengan kesungguhan, konsisten dan terencana menuju aparatur yang berkualitas, kompetensi, profesional dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Strategi pengembangan dan pemberdayaan sumber daya aparatur tidak dapat dilakukan seketika. Perubahan ini dimakna secara bertahap dan terencana yang berkesinambungan.
Pendekatan proses belajar; learning process sebagaimana dikemukakan David Korten (1981) merupakan wacana yang efektif bagi pembentukan profesionalisme aparatur birokrasi. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi aparatur birokrasi untuk berbuat kesalahan (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan tadi, birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan dari sana akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient), dan pada akhirnya belajar berkembang (learning to be expand).
Strategi pengembangan dan pemberdayaan aparatur menuju good governance merupakan learning process yang seharusnya didukung oleh sistem pembelajaran yang sistem pembelajaran yang kondusif berupa struktur organisasi pemerintahan yang adaptif. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekruitmen; (2) penggajian dan reward; (3) pengukuran kinerja; (4) promosi jabatan; (5) pengawasan. Memahami ini merupakan suatu sistem membuat perhatian atas sub-sub sistem perlu secara utuh. Namun dalam kaitan kajian ini, learning process pada peningkatan kompetensi (kinerja) aparatur yang menjadi tuntutan publik pada pelayanan keseharian yang dinilai tidak memuaskan.
Penyusunan strategi dalam pelayanan publik harus dikelola secara operasional, terapan. Strategi yang dirumuskan harus punya kemamputerapan secara optimal. Untuk mencapai hal tersebut data lapangan perlu diketahui. Dalam konteks ini, turun ke lapangan diperlukan oleh aparatur. Perlu diketahui data lapangan untuk memahami strategi. Contoh berkenaan atas Tujuan: keindahan; kesehatan dan keamanan; meninimalkan ketidaknyaman masyarakat; kepuasan penduduk secara umum. Kita tentu perlu mengetahui secara benar atas hasil dari tujuan, berupa: jalan, gang dan lingkungan yang bersih; bau yang mengganggu; suara-suara yang tidak menyenangkan; bahaya kebakaran; sampah yang tidak diambil; sampah yang tercecer saat pengambilan; keluhan penduduk; kepuasan yang dirasakan.
Kepahaman atas kualitas pelayanan merupakan bentuk pelayanan yang terukur, ada standar pelayanan minimal, ada acuan, tolok ukur dalam pemberian pelayanan. Dipahami, kualitas merupakan sesuatu yang dinamis Acapkali dalam kehendak membangun pelayanan publik yang berkualitas dihadapi oleh masalah ketidakpahaman aparatur atas acuan dan tolok ukur pelayanan yang berkualitas.
Pemberian pelayanan memerlukan indikator yang kemudian diberi penilaian, contoh: pelayanan kebersihan umum pada tempat pembuangan sementara (TPS), ditetapkan indikator pelayanan prima: (1) Kebersihan TPS; (2) Tingkat bau yang tidak nyaman; (3) Kelayakan lokasi TPS; (4) Fasilitas TPS; (5) Waktu pembuangan dan pengambilan sampah; dan (6) Mental masyarakat.
Indikator-indikator tersebut merupakan bentuk operasional dari manajemen kinerja dalam memberikan pelayanan yang berkualitas. Hal ini memudahkan aparatur untuk pemberian pelayanan sekaligus evaluasi pada setiap indikator tersebut.
Pemberdayaan, peningkatan kompetensi aparatur dalam konteks tuntutan pelayanan publik ini adalah kepahaman atas pengetahuan secara terukur atas pelayanan. Sudah seharusnya aparatur melaksanakan tugas pokok dan fungsi dalam pelayanan publik atas indikator pelayanan berkualitas.
__________
* Dosen Fisip dan Program Magister Ilmu Sosial Untan, Tulisan ini dipresentasikan pada kegiatan Diklatpim Tk. III Angkatan XX di Provinsi Kalbar, Pontianak, 10 Agustus 2007.
BEDAH BUKU
Sjamsuar, Zumri Bestado, 2002 (Pontianak: Romeo Grafika)
Oleh: Dr. Zulkarnaen
Ketika diserahkan buku Dua Sayap Demokrasi selasa siang, dipikiran: teman, saudara gue ini istiqomah pada penyelesaian masalah yang besar, mendasar dan pelik, seperti kajian demokrasi.
Satu hal yang menjadi pelajaran adalah ada kehendak besar, kita perlu itu untuk transformasi Indonesia, bukan budaya alakadar, secukupnya saja.
Demokrasi, merupakan persoalan yang sangat sulit. Proses ketertarikan rekan Zumri Bestado pada demokrasi saya pikir proses yang panjang tidak hanya pada tataran pemikiran, tetapi juga pada tataran realitas. Buku yang mengandung kehendak transformasi Indonesia yang demokratis. Buku ini memang merupakan bacaan lanjut, ada polemik, dialektika, mendorong berpikir kritis.
Rekan Zumri, mampu menyederhanakan pemahaman demokrasi secara mendasar dua sayap demokrasi: daulat rakyat dan daulat hukum. Istilah yang tepat.
Menariknya demokrasi dihujam dalam segenap elemen, aspek dalam hidup.
Menariknya ruh tulisan tentang demokrasi ini, optimis.
Konsep demokrasi padat dengan muatan nilai. Demokrasi menjadi kontekstual, ada ruang budaya. Apa kita punya nilai demokrasi ?
Demokrasi kita musyawarah untuk mupakat, meminjam konsep dua sayap demokrasi, terasakan demokrasi yang ada dan ingin kita bangun timpang. Sayap satu saja yang dipakai untuk terbang secara optimal yaitu daulat rakyat. Daulat hukum tidak berkembang menunjukkan supremasi hukum. Kondisi kini, masalah supremasi hukum dan penghormatan pada hak-hak sipil, HAM.
Demokrasi sosok, wajah yang tidak jelas, acapkali yang menonjol dalam hal ini wajah politik. Demokrasi lalu banyak dijadikan alat. Manipulasi demokrasi, kebohongan demokrasi, kemunafikan demokrasi.
Praktik demokrasi yang acapkali terjadi anomali, penyimpangan.
Demokrasi menyerahkan pada perwakilan, kekuasaan beralih pada lembaga demokrasi, beranjak dari ‘demokrasi’ wakil rakyat dalam praktek menjadi tuan rakyat.
Dalam buku inii demokrasi dan nilai-nilai sistem pemerintahan, Good governance yang ditulis, bahkan ada yang memasukkan demokrasi sebagai salah satu prinsip good governance.
Good governance sebagai upaya mengatasi masalah korupsi. Apakah mampu mengatasi korupsi ?
Demokrasi ‘Indonesia’ selama ini telah gagal memberantas korupsi.
Perlu otokritik pada budaya kita menumbuh suburkan korupsi melalui kebiasaan bawahan memberi pada atasan.
Membangun pemerintahan Indonesia yang modern: demokrasi dan pemerintahan yang stabil, ini hal yang sulit terjawabkan.
Pertemuan daulat rakyat dan daulat hukum.
Jalan keluar yang ditempuh demokrasi, persoalannya format demokrasi yang bagaimana ? PR bagi kita. Apakah kita perlu memulai dari nilai bangsa kita ? (sebelumnya kita dininabobokan nilai yang demokratis, baik dst). Atau adopsi nilai luar ? atau rekayasa nilai sosial baru ? atau jalan lain.
Dalam kehidupan demokrasi diperlukan menahan diri, membuat kita respek dan menghargai oranglain. Secara pribadi-pribadi mungkin dapat namun secara kolektif, menahan diri ? ini bukan persoalan yang gampang pada kehidupan kolektif.
Contoh pemerintahan yang kurang demokrasi, tetapi negara tersebut berkembang baik adalah Singapura dan Malaysia.
Pemimpin, negara kurang demokratis, kalaupun yang menonjol adalah sayap daulat hukum. Kelompok elit, pemimpin raja itu yang diperlukan. Apa budaya timur mengedepankan pemimpin ? ketergantungan yang berlebihan pada figur pemimpin. Kita tidak seberuntung dalam pemimpin dibandingkan Malaysia dan Singapura.
Pertemuan dua sayap dmeokrasi kontekstual Indonesia, tidak dapat menerapkan kedua sayap dmeokrasi secara bersama-sama.
Saya lebih berpendapat penerapan sayap daulat hukum.
Persoalan hukum, kepastian hukum didahulukan untuk mengatasi korupsi di Indonesia.
Dalam kontekstual Indonesia masa kini, proses membangun demokrasi daulat hukum ini yang perlu dahulu dikedepankan seraya pemberdayaan masyarakat.
Historis Indonesia, penerapan UU No. 5/1974 uniform dalam kesatuan. Demokrasi dipertanyakan.
Diberlakukan UU No. 22/1999 keanekaragaman dalam kesatuan.
Lama kita dikungkung, dihilangkan kebebasan, tidak melatih bangsa Indoensia berdemokrasi.
Ketika kran dibuka, demoikrasi eufhoria.
Demokrasi ditumbuhkan dari kehidupan keluarga,Keluarga merupakan pendidikan yang utama dan pertama.
Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang (2004), penulis Mudrajad Kuncoro, Ph.D.
Pembahas: Dr. Zulkarnaen
Buku yang ditulis secara sistematis yang diawali dengan sejarah pelaksanaan otonomi daerah, perbandingan UU pemerintahan daerah. Bab-bab akhir dapat menjadi panduan pemerintah daerah. Isyu yang dibahas menggambarkan kompleksitas kebijakan, dinamika otonomi daerah. Demikian gambaran political will pemerintah dari Data tabel 1-4, hal.9. Ironis, kendati titik berat otonomi daerah difokuskan pada Dati II, namun kenyataannya justru Dati II-lah yang paling tergantung pada sumbangan/bantuan dari pemerintah pusat. indikasi setengah hati yang tidak kondusif pelaksanaan otda. Ini berkelanjutan, ketidakpercayaan daerah pada pusat demikian sebaliknya.
Pilihan atas kutipan halaman (persembahan) memaknai nilai hidup penulis menuju ilmu yang benar. Saya pikir ini menjiwai filsafat Ilmu (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) atas tanggungjawab keilmuan.
Buku ini menghadapi kesulitan karena pelaksanaan UU No. 22/1999 dan 25/1999 yang berlaku singkat, yang saat ditulis, cetak mengalami revisi UU No. 32/2005. Namun filosofi kedua UU ini sama yaitu keanekaragaman dalam kesatuan membuat kajian buku ini masih relevan (kebijakan yang ditempu berlandas dari jiwa, filosofi UU). Berbeda dengan UU N0 5/74 tentang Pemeirntahan Daearah, filosofinya uniform dalam kesatuan.
Hal 38. Kesan kuat otda diterapkan dengan pendekatan big bang, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sayangnya, aspek visi dan kelembagaan daerah yang selama ini ‘dikebiri’ oleh pusat tidak diberdayakan terlebih dahulu.
Musyawarah perencanan pembangunan yang rangkaiannya dari dusun, desa/kelurahan sampai nasional ada makna pertemuan top down dan bottom up.
Namun praktik, dusun musyawarah lalu tingkat desa berbeda, kecamatan berbeda lagi dstnya. Bagaimana mengawal agenda setting dari bawah ?
Ada prasyarat civil society (masyarakat madani) masih lemah.
Apakah Musrenbang hanya formalitas belaka ?
Bedah Buku berjudul Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, 2004, Jakarta:Erlangga, penulis Mudrajad Kuncoro, Ph.D. dalam rangka Dies Natalis Universitas Tanjungpura ke 46 dan hari Pendidikan Nasional, dipresentasikan di Rektorat Untan Lantai III, Pontianak, 25 Juni 2005
Visi, misi mendapat perhatian penulis ini bagus.
Jarang buku otda yang memberikan perhatian pada topik ini.
Sebagai warga kota Pontianak, kelompok terpelajar sekalipun ketika ditanya apa visi, misi kota Pontianak banyak yang tak tahu. Dinas-dinas yang ada di Pemkot Pontianak programnya tidak sinergis menuju visi, misi, program Kota Pontianak.
Merumuskan visi, misi, program, formulasi untuk memuaskan adalah pekerjaan yang sulit. Lebih sulit lagi, tahap implementasi.
Reinventing government mengarahkan ketimbang mengayuh; pemerintahan modern semakin sedikit memerintah, visi misi yang menjadi acuan para pihak terkait untuk mencapai tujuan. Visi tanpa aksi hanyalah mimpi. Aksi tanpa visi yang jelas hanyalah sekedar aktivitas. Tapi visi dan aksi yang terpadu dibanyak kasus dapat mengubah dunia.
Membahas arti penting visi, misi sangat baik, lebih penting lagi strategi menerapkan visi, misi agar terimplementasi.
Pelajaran pembangunan daerah di era otonomi daerah pada Kabupaten Kutai Timur yang sumber daya alam melimpah, tetapi miskin infrastruktur. Beruntung memiliki pemimpin bupati yang kuat, dan kabupaten yang dikarunia sumber daya alam yang melimpah.
Tidak mengabaikan apresiasi atas kekuatan program di Kutai Timur, namun diperlukan di era otonomi ini manajemen inovatif, terobosan, kreatif.
Pembanding kasus Kabupaten Banyumas: pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antar kecamatan. Pembangunan regional ?
Hal. 14. Manajemen pembangunan daerah yang selama ini berjalan menunjukkan kecenderungan yang ‘kurang serasi’. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi keterantungan fiskal terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan tersebut juga semakin besar.
Pembanding Serawak, sulit untuk menyatakan pembangun fisik cukup pesat. Infrastruktur jalan tidak terselesaikan. Salah urus. Korupsi.
Sentralisasi, uniform membuat (panjang) kebiasan menunggu ‘petunjuk’. Menuju daerah membangun, boleh jadi di awal-awal pelaksanaan banyak melakukan kesalahan sebagai suatu pembelajaran.
UU 22/1999 dikemukakan oleh Pratikno memuat dua misi politik utama: memberi kesempatan dan kepuasan untuk menikmati simbol-simbol utama demokrasi lokal (misal pemilihan kepala daerah) kedua untuk memuaskan daerah-daerah kaya SDA untuk tidak memberontak. Sebatas memuaskan, lalu memuaskan kelompok elite politik tidak selalu berkorelasi kesejahteraan masyarakat, sering kali ini menjadi catatan pusat diberi otda malah nggak maju-maju. Dimensi hidup tidak hanya politik, bagaimana sektor riil masyarakat ?
Pelaksanaan otda negatif dan positif
Betul masalah/isyu sentral (hal.39);
Sisi lain, pelaksanaan otonomi mendorong tumbuh manajemen inovatif, kreatif yang ternyata banyak daerah mampu mengelola diri. Selayaknya ini juga mendapat perhatian dalam buku ini.
Hal. 63. Pembangunan suatu daerah haruslah mencakup tiga inti nilai (ketahanan; harga diri; kebebasan/demokrasi).
Harga diri, pembangunan haruslah memanusiakan orang, kebanggaan sebagai manusia yang berada di daerah itu. Kebanggaan daerah dalam lingkup negara Indonesia ? Sebagaimana Serawak dalam negara Malaysia.
Banyak yang salah urus, untuk tidak mengatakan apa sih yang tidak salah urus di republik ini ? pembanding daerah lain ? pembanding Serawak ?
Penetapan kawasan pengembangan strategis (hal. 217) pedalaman. Kita berpikir sebagai negara benua, bukan kepulauan.
Good governance mendapat perhatian luas. Upaya yang terus menerus, berkesinambungan dalam saluran yang benar.
Prinsip-prinsip good governance mudah untuk diingat, diomongkan, tetapi menerapkan dalam suatu masyarakat ?
Program pengentasan kemiskinan sudah banyak. Buku ini membahas secara runtut dan tuntas. Realisasi kebijakan tersebut ?
Sukses Badan Otorita Batam, belum tentu Badan pengelolaan perbatasan juga sukses.
Kini, Batam dikelola Badan otorita dan otonomi daerah, pemkot.
Pelayanan publik: standar pelayanan minimal, ini tak ada dan orientasi nilai birokrat
Kajian menarik lain: bagaimana menarik investasi dan memasarkan daerah ?
Hal yang sulit dan diperlukan oleh daerah, diharapkan tulisan ini mampu menjadi panduan pemerintah daerah untuk mendatangkan investor.
Panduan untuk kreatif, inovatif. Kendala, rendah daya saing (perizinan, infrastruktur, sosial budaya) alternatif benahi dulu atau datangkan dulu baru dibenahi ?
Persoalan sulit lain yang dibahas adalah UKM.
KAPET (kawasan pembangunan ekonomi terpadu), perlu dievaluasi
Percepatan pembangunan KTI, evaluasi kinerja dari kantor kementerian ini ?